Karya : Arjuna H T Munthe
![]() |
Gambar : CERPEN - Batas Antara Cinta dan Persahabatan. (depositphotos.com) |
Senja baru saja mulai melukis langit dengan warna oranye dan merah muda yang lembut. Di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota, Aulia duduk sambil menatap secangkir kopi hitam yang hampir habis di hadapannya. Ruangan itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang yang terlibat dalam percakapan mereka masing-masing. Aulia menyukai tempat ini karena suasananya yang tenang, yang memberinya ruang untuk merenung.
Sejak beberapa waktu terakhir, Aulia merasa ada yang berbeda dalam dirinya. Perasaan itu semakin mengusik pikirannya—perasaan yang tak bisa dia definisikan dengan mudah. Apakah itu cinta? Atau sekadar keinginan untuk menemukan seseorang yang bisa dia percayai? Aulia tidak bisa memastikannya.
Ia teringat pada Arka, sahabatnya yang sudah dikenalnya sejak kecil. Mereka bertemu di sekolah dasar, dan sejak itu, kedekatan mereka tidak pernah pudar. Arka adalah sosok yang selalu ada di setiap tahap kehidupan Aulia, dari masa-masa sulit hingga bahagia. Mereka berbagi cerita, tawa, dan bahkan tangisan. Namun, belakangan ini, Aulia merasa hubungan mereka semakin rumit.
Arka adalah pria yang tampan, cerdas, dan selalu punya cara untuk membuat Aulia tertawa, bahkan di saat-saat yang paling gelap sekalipun. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hati Aulia, sesuatu yang terasa seperti sebuah bayang-bayang yang sulit dia singkirkan. Sejak beberapa bulan terakhir, Aulia merasa bahwa perasaannya terhadap Arka mulai berubah. Tidak hanya sebagai sahabat, tetapi lebih dari itu—perasaan yang seharusnya tidak dia rasakan karena hubungan mereka sudah begitu kuat sebagai teman.
Aulia merasa bingung. Apakah mungkin perasaan ini adalah cinta? Dan jika iya, apa yang harus dia lakukan? Akankah dia mengorbankan persahabatan yang telah mereka bangun selama ini hanya karena perasaan yang tiba-tiba muncul? Ataukah dia akan mengabaikannya dan berharap semuanya kembali seperti semula?
Sebuah suara mengganggu lamunan Aulia. "Aulia, kamu masih di sini?" Arka tiba-tiba muncul di depannya dengan senyum lebar yang selalu dia tampilkan. Dia mengenakan jaket biru tua dan celana jeans yang sedikit robek di bagian lutut, ciri khas gaya kasualnya yang selalu membuatnya tampak santai namun tetap menawan.
Aulia tersenyum tipis. "Iya, baru saja selesai kuliah. Aku butuh sedikit waktu untuk diri sendiri." Jawabnya, berusaha menahan kegelisahan yang mulai terasa di dalam hati.
Arka duduk di kursi yang berseberangan dengan Aulia dan memesan minuman. "Aku tahu, kamu selalu suka datang ke sini ketika butuh waktu untuk berpikir. Tapi, ada apa? Kamu terlihat sedikit cemas." Arka menatap Aulia dengan mata yang penuh perhatian.
Aulia sedikit terkejut, namun mencoba untuk tetap tenang. "Tidak ada apa-apa kok. Mungkin hanya sedikit lelah."
Arka mengangguk, meskipun dia tetap merasa ada yang aneh. "Kalau begitu, ayo kita jalan-jalan setelah ini. Kamu butuh udara segar. Biar kamu nggak stres dengan segala tugas kuliah itu."
Aulia merasa ragu, tetapi dia tahu, tidak ada yang lebih nyaman daripada berada di dekat Arka. Dia telah melakukan banyak hal bersama Arka, berbagi hampir seluruh hidupnya, namun kali ini dia merasa ada jarak yang tak terungkapkan antara mereka berdua.
Malam itu, mereka berjalan menyusuri trotoar kota yang sepi. Bintang-bintang di langit tampak cerah, namun Aulia merasa hatinya gelisah, seolah ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan. Arka berjalan di sampingnya, mengobrol dengan santai tentang hal-hal yang ringan, tetapi Aulia hanya menyimak tanpa benar-benar mendengarkan. Pikirannya terus melayang pada satu pertanyaan yang sama: Apakah perasaan ini bisa membuat semuanya berubah?
Setelah beberapa saat berjalan, Arka menghentikan langkahnya. "Aulia, ada yang ingin aku bicarakan."
Aulia menoleh, merasakan ketegangan di udara yang tiba-tiba berubah. "Apa itu?"
Arka menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Aku… aku merasa ada sesuatu yang berbeda akhir-akhir ini. Aku tidak tahu apakah kamu merasakannya juga, tetapi aku merasa hubungan kita lebih dari sekadar persahabatan."
Aulia terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Perkataan Arka menggetarkan hatinya, namun juga membuatnya cemas. Ini adalah momen yang dia takutkan. Dia merasa seolah dunia terhenti sejenak.
"Apa maksudmu, Arka?" tanya Aulia, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
Arka menatapnya dengan serius, dan Aulia bisa melihat sedikit keraguan di matanya. "Aku merasa… aku mulai melihatmu bukan hanya sebagai sahabat. Perasaan ini mulai tumbuh, dan aku tidak bisa lagi menutupinya. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku rasa kita harus jujur satu sama lain."
Aulia merasa seluruh tubuhnya kaku. Seiring dengan ketegangan yang semakin terasa, ia tahu saat ini adalah titik balik dalam hubungan mereka. Apa yang harus dia katakan? Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Atau apakah ini hanya kebingungannya saja?
Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Aulia akhirnya membuka mulutnya. "Arka, aku juga merasakannya. Aku juga merasa ada yang berubah antara kita. Tapi aku takut jika kita mencoba untuk lebih dari sekadar teman, kita akan kehilangan segala yang sudah kita miliki. Aku takut perasaan ini akan merusak segalanya."
Arka tersenyum tipis, seolah mengerti keraguan Aulia. "Aku juga takut, Aulia. Tetapi, aku percaya bahwa jika kita berani menghadapinya bersama, kita bisa mengatasi apapun."
Aulia menatap Arka dalam-dalam. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Arka. Tapi satu yang pasti, aku menghargai persahabatan kita lebih dari apapun. Aku tidak ingin kehilangan itu."
Arka mengangguk, dan ada kehangatan yang muncul di antara mereka. "Aku juga, Aulia. Kita akan mencari jalan yang terbaik, tidak perlu terburu-buru. Cinta itu bukan tentang apa yang kita harapkan, tapi tentang bagaimana kita berjalan bersamanya."
Malam itu, meskipun mereka belum menemukan jawabannya, keduanya merasa lega. Mereka tahu bahwa tidak ada yang perlu terburu-buru dalam hidup ini. Cinta dan persahabatan adalah dua hal yang bisa berdampingan, asalkan mereka tetap menjaga komunikasi dan saling menghargai.
Ketika Aulia pulang malam itu, ada rasa harapan yang tumbuh di hatinya. Cinta sejati tidak datang dengan mudah, tetapi dengan kejujuran dan keberanian untuk menghadapi segala ketakutan, mungkin mereka bisa menemukan jalan bersama.