Penulis : Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe
Lidinews.id - Langit sore di tepi pantai selalu membawa ketenangan bagi Lara. Deburan ombak yang berkejaran, semilir angin yang membelai lembut rambutnya, serta semburat jingga yang terpantul di permukaan laut membuatnya merasa bahwa dunia masih menyimpan keindahan. Tapi tidak hari ini. Hari ini, Lara duduk di pasir dengan hati yang berat, menunggu seseorang yang belum tentu datang.
Beberapa bulan terakhir, hidupnya berubah sejak kehadiran Rangga. Pria berwajah teduh dengan senyum yang selalu membawa kehangatan. Mereka bertemu di sebuah toko buku kecil di sudut kota, tempat Lara bekerja paruh waktu. Saat itu, Rangga tengah mencari buku puisi Rendra, dan Lara, dengan senang hati membantunya.
"Kamu suka puisi?" tanya Lara kala itu.
Rangga tersenyum, "Lebih tepatnya, aku suka bagaimana kata-kata bisa menghidupkan sesuatu yang tak terungkap."
Percakapan itu menjadi awal dari banyaknya pertemuan mereka. Setiap minggu, Rangga selalu datang ke toko buku, bukan hanya untuk membeli buku, tetapi untuk berbincang dengan Lara. Mereka membicarakan banyak hal, dari sastra, musik klasik, hingga teori filsafat yang kerap membuat kepala Lara berdenyut. Namun, dalam setiap percakapan, ada kenyamanan yang tumbuh perlahan.
Suatu hari, Rangga mengajak Lara ke pantai tempat mereka kini sering menghabiskan waktu. "Aku ingin menunjukkan sesuatu yang istimewa padamu," ujarnya. Dan sejak saat itu, pantai ini menjadi saksi bisu atas kisah mereka.
Namun, tidak ada kisah yang selalu berjalan mulus. Seminggu yang lalu, Rangga menghilang tanpa kabar. Tidak ada pesan, tidak ada telepon. Lara mencoba mencari tahu, tapi hasilnya nihil. Ia bahkan mendatangi rumah Rangga, namun hanya menemukan gerbang tertutup rapat. Sebuah kecemasan merayap di hatinya.
Malam itu, ketika ia hampir kehilangan harapan, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
"Temui aku di pantai, saat senja."
Lara hampir tidak bisa menunggu. Ia datang lebih awal, duduk di pasir, menatap laut yang seakan menenangkannya. Beberapa saat kemudian, sosok yang dikenalnya berjalan mendekat. Rangga tampak berbeda. Wajahnya lelah, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Lara... maaf karena aku menghilang."
Lara menghela napas, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. "Aku hanya ingin tahu kenapa."
Rangga duduk di sampingnya, menatap matahari yang perlahan tenggelam. "Aku harus pergi ke luar negeri untuk menjalani operasi. Ada sesuatu yang tak bisa kuceritakan sebelumnya."
Lara terkejut. "Operasi? Apa yang terjadi, Rangga?"
Rangga tersenyum pahit. "Aku mengidap kelainan jantung sejak kecil. Dokter mengatakan aku harus segera menjalani operasi atau risikonya terlalu besar. Aku tidak ingin membuatmu khawatir, jadi aku pergi tanpa memberi tahu." Ia menatap Lara dalam-dalam. "Tapi setiap detik aku merindukanmu. Aku tahu aku harus kembali dan memberitahumu sendiri."
Lara menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, tapi satu hal yang pasti: ia tidak ingin kehilangan Rangga. "Kenapa kamu tidak memberitahuku? Aku bisa mendukungmu, menemanimu."
Rangga menggeleng. "Aku tidak ingin membebanimu. Aku pikir, jika aku pergi tanpa jejak, mungkin lebih mudah bagimu untuk melupakanku."
Lara menghela napas panjang, mencoba memahami beban yang dipikul Rangga. Tapi hatinya sudah memilih. "Rangga, mencintai seseorang berarti menerima mereka sepenuhnya, dengan semua luka dan kelemahannya. Jika kamu berpikir aku bisa melupakanmu semudah itu, kamu salah."
Rangga menggenggam tangan Lara erat, seolah takut kehilangan lagi. "Apakah aku masih memiliki tempat di hatimu?"
Lara tersenyum lembut. "Sejak awal, tempat itu memang milikmu."
Senja pun menjadi saksi ketika dua hati yang hampir terpisah kembali bersatu. Dalam pelukan Rangga, Lara merasa tenang, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Mungkin cinta memang bukan tentang siapa yang pergi atau siapa yang bertahan, tetapi tentang bagaimana dua hati saling menemukan kembali, meskipun badai sempat memisahkan.