terkini

Iklan Podcast

POLITIK UANG : LUNTURNYA DEMOKRASI YANG DINORMALISASI DI KABUPATEN SAMOSIR

Tika Ginting
Jumat, 11/01/2024 04:57:00 PM WIB Last Updated 2024-11-01T09:57:20Z

 Andreas Sihombing 

Mahasiswa Fakultas Hukum UISU

Pilkada adalah momen penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang akan membawa daerah menuju kemajuan. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 akan digelar pada 27 November 2024 mendatang. Sejumlah aktor-aktor politik sudah bermunculan untuk unjuk gigi di kontes pilkada kali ini. Tak hanya petahana, sejumlah nama-nama baru juga kerap menghiasi gelaran ini. Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Vandiko T. Gultom yang kini masih menjadi Bupati Samosir maju lagi menjadi calon Bupati untuk tahun 2024-2029.


 Tak mau kalah, pesaing baru yaitu Freddy Situmorang yang memiliki latar belakang pendidikan sebagai lulusan sarjana dan magister hukum, turut serta sebagai calon Bupati Samosir. Kedua calon Bupati Samosir ini adalah putra daerah Kabupaten Samosir yang masih memiliki usia yang tergolong muda. Vandiko (32 th) ataupun Freddy (35 th) diharapkan dapat membawa Samosir lebih maju lagi di tahun-tahun mendatang. 


Tetapi yang menarik untuk dibahas pada Pilkada Kabupaten Samosir adalah tentang kualitas sistem demokrasi disana. Banyak sekali ditemukan fakta hingga bukti nyata tentang sistem yang menyeleweng disetiap Pilkada Kabupaten Samosir. Salah satunya adalah politik uang, tentu pada pasal 73 UU No.10 tahun 2016 telah mengatur tentang penggunaan politik uang pada saat pemilihan. Kemudian pasal 187 A UU No. 10 tahun 2016 juga telah dicantumkan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang melakukan politik uang.


Namun hal itu hanyalah peraturan semata di Kabupaten Samosir, peraturan tersebut bagaikan angin lewat saja bagi Pilkada disana. Bagi-bagi uang disana tampak secara jelas dan kerap menjadi obrolan biasa di warung kopi ataupun warung tuak. Ironisnya, masyarakat juga tampak menormalisasikan hal tersebut hingga tak masalah bagi mereka jika suaranya dibayar asalkan harga sesuai. Memang tidak semua warga Samosir demikian, tetapi sudah cukup merata masyarakat yang demikian di tiap-tiap kecamatan. 


Hak suara mereka dengan gampangnya dibeli oleh mereka yang memiliki uang. Praktik politik uang yang marak terjadi di Kabupaten Samosir telah mencederai esensi dari demokrasi itu sendiri. Politik uang bukan sekadar isu, tetapi sudah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan. Di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi masyarakat, tawaran uang atau barang dari calon kepala daerah seringkali menjadi godaan sulit ditolak. Dalam banyak kasus, pemilih lebih memilih keuntungan sesaat ketimbang mempertimbangkan visi dan misi yang ditawarkan. 


Hal ini menciptakan pemimpin yang tidak memiliki legitimasi yang kuat, yang pada gilirannya akan berdampak buruk bagi pembangunan daerah. Faktor-faktor yang memicu politik uang di Samosir sangat beragam. Ketidakpastian ekonomi dan rendahnya pendidikan politik membuat masyarakat rentan terhadap iming-iming materi. Banyak pemilih yang belum sepenuhnya memahami pentingnya suara mereka dalam menentukan arah pembangunan daerah. Ini adalah tantangan besar yang harus dihadapi untuk menciptakan iklim politik yang sehat.


Terjadinya politik uang secara blak-blakan yang seperti ini tidak menutup kemungkinan menjadikan pemicu lahirnya koruptor nantinya. Bahkan dengan sistem yang seperti ini (yang berduit adalah pemenang) akan mematikan karakter asli bagi seseorang yang memiliki inovasi maju, memiliki jiwa pemimpin seakan percuma jika tak memiliki dana. Satu hal yang sangat disayangkan juga adalah kurangnya kesadaran politik sebagian mahasiswa di Samosir. 


Bagaimana tidak, mahasiswa yang seharusnya fokus pada pendidikannya malah sibuk menjadi tim pendata mahasiswa yang mengenyam pendidikan di luar Samosir untuk dimintakan KTP nya dan akan diongkosi pulang hingga diiming-imingi akan nominal yang diterimanya jika siap memilih salah satu pasangan calon yang diarahkan oleh si pendata tersebut. Harusnya sebagai orang yang sudah melek akan hukum, demokrasi hingga politik, mahasiswa tidaklah dengan gampangnya menjadi bagian dari pelaku politik uang seperti yang sudah disebutkan. Kaum-kaum intelektual justru diharapkan sebagai agen untuk menolak kecurangan kecurangan seperti ini. 


Karena pada prinsipnya, mahasiswa sekarang adalah calon penerus pemimpin yang saat ini. Namun, harapan masih ada. Masyarakat perlu diajak untuk menyadari pentingnya menolak politik uang. Upaya peningkatan kesadaran politik, baik melalui pendidikan formal maupun informal, sangat penting. Selain itu, penegakan hukum yang lebih ketat terhadap praktik politik. Uang harus menjadi prioritas bagi pihak berwenang. Kita perlu menciptakan lingkungan di mana pemilih merasa aman untuk memilih berdasarkan visi dan misi, bukan karena tawaran materi. 


Akhir kata, Pilkada harusnya menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi, bukan merusaknya. Mari kita bersama-sama menolak praktik politik uang dan mendorong terwujudnya pemilihan yang bersih dan adil di Kabupaten Samosir. Setiap suara memiliki kekuatan; sudah saatnya kita gunakan kekuatan itu untuk kebaikan bersama. Maju dan sembuh lah Samosir-ku.

HORAS…HORAS…HORAASSS…

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • POLITIK UANG : LUNTURNYA DEMOKRASI YANG DINORMALISASI DI KABUPATEN SAMOSIR

Iklan