Karya : Arjuna Herianto Tri Mayldo Munthe
Gambar : Menyusuri Jalan Perubahan. Lidinews.id
Hari pertama di kampus.
Angin sepoi-sepoi menyambut Maya, mahasiswi baru Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik di Universitas Karya Muda. Dengan semangat yang membara, dia
melangkahkan kaki di antara kerumunan mahasiswa lainnya. Kampus itu terasa
hidup, penuh suara tawa, pembicaraan, dan secercah harapan. Namun, di balik
riuhnya suasana, Maya menyimpan ketidakpastian. Dia merasa sedikit terasing
dalam dunia yang baru ini.
Di dalam kelas, dosen
pertama yang ditemuinya adalah Dr. Rudi, seorang pengajar yang dikenal tegas
dan penuh semangat. Dia langsung menarik perhatian Maya dengan pemaparan
tentang isu-isu sosial yang relevan. “Kita akan membahas tentang ketidakadilan
sosial, diskriminasi, dan hak asasi manusia,” ujarnya. Mata Maya berbinar
mendengar kata-kata itu. Dia menyadari, selama ini, ia hanya mengetahui isu-isu
tersebut dari berita dan media sosial, tanpa benar-benar memahami akar
permasalahannya.
Setelah pertemuan
pertama, Maya dan teman-temannya di kelas dibagi menjadi kelompok untuk
melakukan penelitian tentang isu-isu sosial. Maya merasa beruntung karena
berada di kelompok yang dipimpin oleh Rian, seorang mahasiswa tingkat dua yang
sudah berpengalaman dalam organisasi sosial. Rian menjelaskan bahwa mereka akan
fokus pada isu pengangguran di kalangan pemuda.
“Kenapa pengangguran ini
penting untuk kita bahas?” tanya Rian, sambil melihat ke arah kelompoknya.
“Karena angka pengangguran yang tinggi dapat memengaruhi banyak aspek
kehidupan, mulai dari ekonomi hingga ke kesehatan mental. Kita harus mengangkat
suara mereka yang terpinggirkan.”
Maya merasa tertantang
dan bersemangat untuk mendalami lebih dalam. Hari-hari berikutnya dihabiskan
dengan riset di perpustakaan dan wawancara dengan para pemuda yang sedang
mencari pekerjaan. Salah satu dari mereka, Adi, seorang pemuda berusia 22
tahun, menceritakan kesulitannya dalam mencari kerja. “Saya sudah melamar ke
puluhan tempat, tapi selalu ditolak. Alasan yang saya terima, mereka lebih
memilih yang sudah berpengalaman,” ungkap Adi dengan nada putus asa.
Maya merasa tergerak. Dia
mulai menyadari bahwa di balik angka pengangguran yang tinggi, ada
cerita-cerita manusia yang penuh harapan dan perjuangan. Dia mulai menggali
lebih dalam dan melakukan riset lebih lanjut tentang kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan lapangan pekerjaan. Dalam diskusi kelompok, Maya berbagi
pemikirannya. “Kita tidak hanya perlu data, tapi juga kisah nyata mereka. Ini
bukan hanya angka, ini tentang kehidupan.”
Dalam perjalanan proyek
mereka, Maya juga mengikuti seminar-seminar yang diadakan oleh organisasi
kemahasiswaan di kampus. Di sana, ia bertemu dengan aktivis-aktivis muda yang
memperjuangkan berbagai isu sosial. Maya terinspirasi oleh bagaimana mereka berani
berbicara dan memperjuangkan hak-hak masyarakat. Salah satu pembicara yang
paling berkesan adalah Fina, seorang aktivis perempuan yang memperjuangkan
hak-hak buruh perempuan. “Jangan pernah ragu untuk bersuara. Setiap suara,
sekecil apapun, adalah bagian dari perubahan,” kata Fina dengan penuh semangat.
Dengan berjalannya waktu,
Maya mulai merasakan dampak dari pembelajaran yang ia dapatkan. Ia tidak hanya
menjadi lebih sadar akan isu-isu sosial, tetapi juga merasa memiliki tanggung
jawab untuk terlibat. Saat kelompok mereka selesai melakukan penelitian, mereka
memutuskan untuk mengadakan acara diskusi terbuka di kampus untuk membagikan
temuan mereka. Maya merasa ini adalah langkah kecil untuk mendorong kesadaran
di kalangan mahasiswa lainnya.
Hari diskusi tiba. Maya
berdiri di depan audiens yang berisi teman-teman sekelas dan mahasiswa lain,
merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Namun, saat dia mulai berbicara
tentang temuan kelompoknya, rasa percaya diri itu muncul. “Kami menemukan bahwa
pengangguran di kalangan pemuda bukan hanya disebabkan oleh kurangnya lapangan
pekerjaan, tetapi juga karena kurangnya keterampilan yang dibutuhkan oleh
industri,” jelasnya. Ia menceritakan kisah Adi dan pemuda-pemuda lainnya yang
mereka temui.
Diskusi berlangsung
interaktif. Banyak mahasiswa yang bertanya dan berbagi pengalaman mereka
sendiri. Maya merasa bangga melihat teman-temannya mulai memahami dan berempati
terhadap isu yang diangkat. Diskusi itu tidak hanya membuka mata, tetapi juga
mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan mencari solusi.
Setelah acara selesai,
Maya merasa energik. Dia menyadari bahwa langkah kecil ini adalah bagian dari
perubahan yang lebih besar. Dia mulai terlibat aktif dalam organisasi
kemahasiswaan, mengikuti berbagai kegiatan sosial dan mengajak teman-temannya
untuk melakukan hal yang sama. Mereka melakukan penggalangan dana untuk program
pelatihan keterampilan bagi pemuda yang menganggur di sekitar kampus.
Suatu hari, saat sedang
beristirahat di kafe kampus, Maya bertemu dengan Rian. “Kamu tahu, Maya, aku
senang melihat perubahan di dirimu. Dari yang hanya belajar tentang isu sosial,
sekarang kamu sudah menjadi bagian dari solusinya,” puji Rian.
Maya tersenyum, “Aku
hanya mengikuti apa yang aku rasakan. Aku ingin melakukan sesuatu yang
berarti.”
Rian mengangguk setuju,
“Kita semua bisa jadi agen perubahan. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian
untuk mulai.”
Seiring waktu, Maya
belajar bahwa isu sosial bukan hanya sekadar topik untuk dibahas di kelas. Ini
adalah tentang bagaimana membuat dampak dalam kehidupan nyata. Dia merasa lebih
terhubung dengan masyarakat di sekitarnya dan berkomitmen untuk terus memperjuangkan
keadilan sosial.
Kampus itu bukan hanya
tempat untuk belajar teori; itu adalah tempat di mana Maya menemukan
panggilannya. Dia menyadari bahwa setiap tindakan kecil bisa menjadi bagian
dari perubahan besar. Dengan semangat yang tidak pernah pudar, Maya siap
menyusuri jalan panjang menuju perubahan sosial, dan dia tahu bahwa perjalanan
ini baru saja dimulai.