Penulis : Monas
Paralegal Lembaga Pendampingan
Perempuan dan Anak Kalimantan Timur
Gambar : Budaya Patriarki : Mengapa Perempuan Tidak Perlu Ikut Politik? Lidinews.id
Lidinews.id - Dalam
sebuah Organisasi atau institusi public
keterlibatan laki-laki sangat mendominasi, padahal Perempuan juga memiliki
potensi yang tidak kalah dengan kaum
laki-laki dalam memimpin. Adanya perbedaan pandangan masyarakat terkait jenis
kelamin antara laki-laki dan Perempuan yang dihubungkan dengan kepemimpinan
menghambat kaum Perempuan untuk maju.
Budaya patriarki yang secara tidak sadar selalu diajarkan dan diturunkan dari generasi ke generasi menjadi akar adanya kekerasan berbasis gender. Menurut Asian Pacific Institute on Gender-Based Violence (API-GBV), sudut pandang patriarkis yang menilai laki-laki, dominasi heteroseksual, dan devaluasi perempuan merupakan akar dari kekerasan berbasis gender, khususnya terhadap perempuan.[1] Hal ini selaras dengan Data Simfoni-PPA terkait kasus Kekerasan di Indonesia yang di input pada tanggal 1 Januari 2024, sebanyak 3.693 kasus.
Korban Perempuan mendominasi
3.234 kasus sedangkan laki-laki hanya 804 dan Kekerasan dalam rumah tangga
paling tinggi berdasarkan tempat kejadian yaitu 2.479 kasus.[2] Budaya Patriarki yang
mendominasi berkontribusi pada lahirnya ketidaksetaraan gender dari berbagai
aspek aktivitas manusia termaksud dalam politik.
Keterwakilan perempuan dalam lembaga eksekutif dan legislatif, Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan keterwakilan perempuan sebanyak minimal 30%.
Meskipun Undang-Undang telah mendukung keterlibatan Perempuan dalam politik praktis, namun keterlibatan Perempuan tidak dapat terwujud begitu saja, faktanya keterlibatan Perempuan dalam politik masih rendah. Kebijakan Affirmatif 30% belum menghasilkan capaian sesuai harapan, jumlah Perempuan yang duduk di parlemen DPR RI pada pemilu 2019-2024 hanya 20,9%.
Keterlibatan Perempuan dalam Politik sangat penting
untuk memperjuangkan dan mengangkat isu Perempuan pada kursi parlemen dan
meningkatkan representasi tersebut. Ada beberapa factor yang menghambat
Perempuan dalam menjalankan perannya di dunia politik, yaitu hambatan factor
culture dalam masyarakat, psikologi dan ekonomi.[3]
Hambatan
culture social masyarakat yaitu
pandangan masyarakat bahwa tugas Perempuan hanya dirumah saja mengurus anak,
suami dan rumah. Pandangan inilah yang menyebabkan Perempuan tidak mendapat
dukungan untuk terjun dalam dunai politik, baik dukungan dari lingkungan sekitar
maupun keluarga. Adanya kekawatiran bahwa Perempuan bisa lebih superior dari
kaum laki-laki, dan melupakan posisinya yang mereka anggap seharusnya dirumah
saja, karena menilai hanya laki-laki yang berhak memimpin.
Hambatan
psikologi yang ada dalam diri Perempuan akibat culture masyarakat yang mempengaruhi alam bawah sadar Perempuan
bahwa mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki. Rendahnya kepercayaan
diri inilah yang menyebabkan Perempuan tidak mau berpartisipasi dalam politik
yang berdampak pada rendahnya partisipasi Perempuan dalam politik.
Hambatan
Ekonomi juga ikut berperan, dimana pemilu adalah kegiatan yang menghabiskan
banyak biaya. Perbandingan antara biaya kampanye yang besar dan kemungkinan
menang sedikit membuat banyak Perempuan enggan untuk berpolitik. Dibandingkan dengan
laki-laki yang biasanya modal ekonominya lebih besar.
Menurut
penulis banyak faktor yang menyebabkan partisipasi Perempuan dalam politik
rendah. Budaya patriarki menjadi salah satu faktor yang kemudian menyebar ke faktor-faktor
lainnya. Budaya patriarki yang memandang Perempuan tidak boleh melebihi
laki-laki di berbagai bidang termaksud Pendidikan melahirkan banyak Perempuan
yang berpendidikan rendah. Rendahnya Pendidikan dan doktrin dalam keluarga dan
lingkungan sekitar bahwa Perempuan tidak perlu Pendidikan tinggi karna ujungnya
akan di dapur mempengaruhi psikologi Perempuan bahwa mereka tidak pantas
bersaing dengan kaum laki-laki. Masih banyak keluarga di Indonesia yang punya
pemikiran bahwa di bandingkan Kuliah Perempuan lebih baik menikah karena merasa
Pendidikan untuk Perempuan hanya membuang-buang uang.
Budaya patriarki harus diputus, peran Perempuan dalam bidang apapun termaksud dalam bidang politik harus di dorong. Regulasi sudah ada tetapi harus bersaing dengan budaya yang mengakar. Menurut penulis patriarki dapat diputus dengan Pendidikan bagi kaum Perempuan, adanya women support women karna bukan laki-laki saja yang punya pemikiran tentang patriarki tetapi banya Perempuan yang memiliki memikiran yang sama dan baiasanya terlahir dari keluarga yang patriarki juga.
Selain itu, menyuarakan kesetaraan genderdi social media bahwa laki-laki dan Perempuan memiliki hak-hak yang sama dalam aspek ekonomi, politik, social dan budaya. Patriarki jangan sampai diajarkan kegenerasi selanjutnya, kamu yang lahir di keluarga patriarki makan jangan sampai anak-anak mu kedepan merasakan hal yang sama. Perempuan adalah madrasah pertama anak, maka Perempuan berpendidikan tinggi ilmunya tidak akan percuma. Perempuan tidak perlu diberi pilihan, berkarir atau jadi ibu karena Perempuan bisa mengambil keduanya sebagaimana laki-laki tidak diberi pilihan menjadi bapak atau berkarir.
[3] https://berandainspirasi.id/hambatan-perempuan-dalam-politik/
SELAMAT HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL
Budaya Patriarki : Mengapa Perempuan Tidak Perlu Ikut Politik?