Gambar : Perang Menjauhkan Kita Dari Kasih. Review Buku-Menolak Ayah. Lidinews.id |
Kemerdekaan adalah kemenangan bagi suatu bangsa yang berperang. Tetapi tidak semua yang ikut berperang dapat menikmati kemenangan itu. (hal. 237).
Lidinews.id - Cerita novel berbasis latar belakang sejarah selalu menarik untuk diikuti, apalagi kalau peristiwa sejarah itu berdampak besar bagi jalannya roda kehidupan satu bangsa.
Demikianlah novel Menolak Ayah karya Ashadi Siregar yang merujuk satu rangkaian kejadian sejarah yang dimulai dari PRRI, Nasakom-nya Soekarno, dan Gestok sebagai akhir orde lama dan awal dari orde baru-nya Soeharto.
Novel ini bagus untuk generasi milenial, bukan saja karena enak dibaca, atau karena judulnya yang mengisyaratkan sikap berontak seorang anak terhadap orangtuanya, tapi juga karena memberikan banyak informasi tentang bagaimana perang demi perang telah mewarnai kehidupan masyarakat kita hingga ke saat ini, ke ‘jaman now’ ini.
Sementara bagi pembaca umum, novel ini bisa pula mengingatkan mereka bagaimana perang bisa membuat jalan hidup seseorang menjadi berubah ke arah yang tak diinginkan, bukan saja secara pribadi, malah terutama secara sosial.
Novel ini semacam kajian etnografis yang sangat detail. Salah satunya dikisahkan sejarah Batak. Semua orang Batak diyakini berasal dari kawasan sekitar gunung Pusuk Buhit.
Lokasinya di pinggir sebelah barat Danau Toba. Kawasan itu disebut Sianjur Mula-Mula atau menjadi Bona ni Pasogit, pangkal kehidupan setiap orang Batak. Seiring perjalanan waktu, orang Batak menyebar dan bermacam-macam marga.
Tondinihuta. Pemuda Batak bertubuh tinggi besar telah menaklukkan Jakarta. Ia ‘menguasai’ Jakarta dengan caranya sendiri. Bisnis bengkel mobil, taksi, jasa preman, penagih hutang, penyedia perempuan penghibur bagi bos-bos dan terakhir yang hendak direncanakan adalah impor mobil mewah.
Tapi bukan itu yang menarik. Bukan kesuksesan duniawi yang berhasil diraihnya yang menjadi pokok cerita. Melainkan bagaimana perjalanan Tondi sejak kecil hingga dewasa.
Tondi lahir di keluarga Batak yang taat adat. Ompung atau kakeknya adalah bekas ulubalang Si Singamangaraja Keduabelas yang mati di tangan marsose Belanda. Sepeninggal Si Singamangaraja, ompungnya, Ompung Silangit, hidup dikucilkan, tidak memiliki kuasa apapun. Meski tetap dituakan oleh masyarakat adat Batak.
Mengenai nama Tondinihuta, Ompu Silangit, kakek sang tokoh, generasi terakhir yang masih mempertahankan adat dan agama asli, menjelaskan. “Tondi artinya roh, semangat, jiwa kehidupan. Huta bukan hanya berarti kampung. Ingat, bukan sekadar kampung, tapi permukiman yang menjadi sumber kehidupan, sumber yang mempersatukan anak-cucu perkauman. Jadi nama itu berarti roh negeri sekaum”.
Adat dan agama asli suku ini memiliki konsep tentang kehidupan yang mengaitkan secara ketat antara manusia yang bermukim di suatu tempat, sebagai komunitas (perkauman) dengan alam sekitarnya. Novel ini menggambarkan bagaimana konsep itu lenyap seiring datangnya Belanda yang memperkenalkan keyakinan yang berbeda.
Ceritanya bermula dari tokoh utama terlibat dalam perang di Sumatra Utara, yang oleh Pemerintah di Jakarta dikatakan sebagai pemberontakan, sementara sebagian orang menyebutnya perjuangan daerah. Lalu, secara kilas balik, sekilas diceritakan tentang perang-perang sebelumnya, seperti perang Tingki ni Pidari, ketika orang dari selatan, yang beragama Islam, menyerang Batak yang masih memeluk Ugamo Batak, Parmalim.
Lalu, Perang Batak, di mana tentara Belanda menyerang pasukan Raja Si Singamangaraja XII, disusul dengan Perang Dunia II, Jepang datang, Belanda kalah (Jaman Jepang), tak lama kemudian, Jepang kalah, Belanda datang lagi (Perang Kemerdekaan), dan berlanjut dengan pemberontakan daerah tadi.
Panjangnya setting waktu dan banyaknya peristiwa membuat Menolak Ayah membutuhkan banyak penjelasan dalam ceritanya. Sepertinya Ashadi menghabiskan cukup banyak waktu untuk mencari informasi, mencek ulang fakta mengenai hal-hal tersebut.
Termasuk mengenai sejarah, kepercayaan asli, dan adat istiadat orang Batak. Hal itu membuat pembaca Menolak Ayah mendapat banyak informasi, atau pemahaman mengenai sejarah dan berbagai hal yang berkaitan dengan setting waktu dan peristiwa di atas, meskipun informasi itu mungkin tidak sepenuhnya akurat.
Salah satu contoh pemahaman itu, bahwa gerakan PRRI, yang oleh Pemerintah RI disebut pemberontakan, sebenarnya tuntutan keadilan pembangunan dan nasib kesatuan militer di wilayah Sumatera bagian Utara dan Tengah.
Hal ini juga membuat setengah novel Menolak Ayah alurnya terasa lambat. Beruntung, Ashadi punya kemampuan bahasa yang memikat.
Judul novel ini tampaknya merujuk pada pilihan yang diambil oleh tokoh utama, Tondinihuta, ketika ditawari untuk ikut ayahnya ke Jawa, dia menjawab: "… Tidak. Aku hanya mau tinggal bersama ibuku!" (hal.49).
Walau bukan hanya Tondinihuta yang menolak ayahnya. Sikap ini juga dilakukan oleh tokoh lainnya, yaitu Silangit, dan Pardomutua.
Kasus Silangit, misalnya, dia menolak mengakui suku ayahnya, seperti tergambar dalam kutipan ini: “Sejak merantau, dia tak pernah memberi kabar, dan tidak pernah pulang mengunjungi ayahnya. Ada yang pernah ketemu dengannya di pesisir timur, dia sudah tidak menggunakan marganya. Dia mengaku sebagai orang Melayu.
Menghapus marga dari namanya... memutus rantai dengan nenek moyang, perbuatan yang sangat terkutuk bagi orang Batak!… Bagaimana mungkin anak seorang Datu Bolon menghapus marganya?” (hal. 39).
Lalu kasus Pardomutua, dia menolak keyakinan ayahnya, Ompu Silangit, yaitu Ugamo Parmalim, dia masuk Kristen, karena hal-hal seperti dalam kutipan berikut ini:
"Kemudian Pardomutua lahir. Beranjak besar, demang itu berniat menyekolahkannya. Untuk itu Pardomutua menjadi anak angkat demang itu. Dia tinggal di rumah demang itu. Kemudian diapun dikristenkan. Ompu Silangit hanya dikabari. Dia tidak pernah menginjak lantai gereja." (hal. 63).
Jadi, menolak ayah tidak hanya berarti menolak untuk tinggal bersamanya, tapi bisa juga menolak marga, suku, atau agamanya. Bahkan, pemberontakan daerah pun bisa dianggap sebagai anak (tentara daerah) menolak ayah (pemerintah pusat).
Jalan hidup merupakan pilihan pribadi. Orang tua hanya memberikan petunjuk agar anaknya mampu memilih jalan bagi dirinya, begitu keyakinan pengarang novel ini.
Tapi perang bisa membuat segalanya menjadi berantakan. Perang memaksa orang harus menjalani hidup yang sesungguhnya tidak disukai.
Bagi Tondi, “Ketika pemberontakan pecah, Pardapdap mengajaknya bergabung. Bukankah merupakan pilihan yang terbaik saat ini daripada terbenam dalam kubangan waktu dari hari ke hari, dari warung pisang goreng ibunya ke tempat perhentian bus?” (hal.21).
“Bagi Pardapdap, perang dapat menjadi pintu bagi kehidupan yang berbeda. Sebelum kemerdekaan, dia seorang sopir truk. Menjadi tentara pada masa Jepang, dan setelah selesai perang dia mengikuti pendidikan ketentaraan sampai menjadi CPM, lalu bergabung dengan tentara pemberontak, tewas tertembak dalam sebuah pertempuran dengan tentara pusat, dikubur di sebuah kota kecil di dekat Sibolga.”
Perang bisa membuat Ompu Silangit terusir dari kampung halamannya, dari ruma bolon. Perang bisa membuat Pardomutua meninggalan anak-istrinya, agama sukunya, Parmalim, menjadi Kristen, kemudian masuk Islam karena pernikahan.
Perang bisa mengubah seorang kenek bus menjadi tentara pemberontak. Perang juga bisa menyatukan pihak-pihak yang semula berbeda kepentingan, seperti, polisi pemalak bus antarkota, tentara pemberang terhadap orang sipil, pegawai pemerintah sebagai pemeras penjaja kecil di kaki lima, yang bergabung bersama rakyat biasa dalam pasukan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Bahkan, bagi mereka yang sama-sama memilih jalan perang pun, bisa berbeda nasibnya, seperti, nasib Habinsaran dan Sunarya. Tapi perang juga bisa melahirkan tokoh-tokoh penghianat, seperti yang dialami oleh Kolonel Simbolon yang dikhianati oleh bawahannya, Letkol Wahab Makmur dan Letkol Jamin Ginting.
Diakhir novel, diceritakan bahwa Tondi, sang tokoh utama, mengadopsi Tando dan Tarsingot, serta membiayai kehidupan adik-adik tirinya. Dalam bahasa penulisnya, pada paragraf terakhir:
"Dia tetap tak mau bertemu dengan Pardomutua. Baginya laki-laki itu sudah lenyap ditelan masa lalu. Satu generasi yang harus dianggap hilang. Dia hanya mau berbagi kasih, hanya bersama anaknya, hanya bersama saudaranya, untuk menjalani kehidupan ini." (hal. 418-419).
Perang memang sudah berakhir, dalam cerita itu, tapi, sebagaimana kita ketahui, akan ada masa Orde Baru, disusul dengan Orde Reformasi.
Akankah ada lagi perang-perang yang memaksa manusia-manusia warga negara Indonesia harus menempuh jalan kehidupan yang jauh dari damai dan cinta kasih?
Editor : Arjuna H T M
Review by Susi Sipayung
Perang Menjauhkan Kita Dari Kasih. Review Buku-Menolak Ayah