Penulis : Julpadli Simamora
Lidinews.id - Mahasiswa merupakan sosok pemuda yang menjadi agen perubahan bangsa, sosok intelektual yang terkenal dengan idealisme nya yang sangat tinggi dan kokoh, selalu ada hal menarik jika berbicara tentang mahasiswa.
Maha yang ada di dunia ini, yang mertama Maha Kuasa dan yang kedua Mahasiswa, sebuah slogan yang sering di ucapkan para aktivis dari dulu hingga hari ini. Sebuah slogan yang selalu menimbulkan tanya dan kontorversi di dalam benak banyak orang termasuk penulis sendiri. Jadi kenapa harus slogan tersebut selalu disebut-sebut? Lalu apa pentingnya rupanya membahas slogan maha ini?
Pada dasarnya kata maha yang tersematkan sebelum kata siswa adalah sebuah klasifikasi pada proses keilmuan seorang pelajar, kata maha merupakan proses keilmuan yang lebih tinggi dari siswa, namun dibalik nama tersebut ada tanggung jawab yang sangat maha dahsyat. Sebab itulah yang teringat dalam ingatan penulis dari ucapan senior ketika pertama kalinya menyandang gelar mahasiswa dalam diri penulis.
Para senior berkata bahwa dibalik arti kata mahasiswa itu terdapat amanah yang sangat berat, dan jika amanah itu dilanggar, maka gelar mahasiwa yang ada pada diri kita akan ternodai dan tercoreng seketika. Tidak hanya itu senior juga menyampaikan bahwa mahasiswa itu merupakan agen perubahan, penyambung lidah rakyat dan jangan sekali-sekali berkompromi dengan penguasa yang berakibat menyengsarakan rakyat, dan dalam arti kata adalah (Idealisme) harus di junjung tinggi dalam berjuang, kata-kata itu masih saya ingat dan saya pegang hingga saat ini.
Kata-kata senior itu saya percayai setelah mempelajari masa-masa perjuangan mahasiswa dulu, apakah itu sebelum kemerdekaan hingga Indonesia meredeka. perjuangan yang dilakukan pemuda dan mahasiswa sudah ada pra kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang sering kita dengar organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 yang diprakarsai oleh Dr. Wahidin Sudiro, dan Dr. Sutomo yang menyerukan agar pemuda bersatu dan harus mempunyai rasa Nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme dan Imperialisme belanda.
Perjuangan mahasiswa dan pemuda tersebut masih terus berlanjut hingga Indonesia merdeka, dahulu mahasiswa dalam perjuanganya dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, sebab selain belajar dikelas itulah semestinya tugas yang harus dilakukan oleh mahasiswa sebagai egen of kontrol. Dahulu kekuatan mahasiswa sebagai agen of kontrol, sebagai penyambung lidah rakyat itu nyata dan terbukti, hal ini bisa kita lihat ketika masa orde baru, turunnya kepemimpinan presiden suharto sebagi salah satu bukti kekutan mahasiswa. Kemudian timbul pertanyaan, sekuat itukah mahasiswa? Bisa menumbangkan seorang presiden Suharto?, Ya, begitulah kekuatan mahasiswa jika rasa kemanusiaan dan Idealisme-nya tetap kokoh dan tetap melekat pada hati nuraninya. Bahkan Bungkarno pernah berkata “Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan aku goncangkan dunia’’. Dari perkataan bapak proklamator ini bisa kita maknai bahwa jangankan menggulingkan kekuasaan seorang presiden, mengguncang dunia sekalipun mahasiswa bisa, namun tetap itu hanya berlaku untuk mahasiswa pejuang dan yang kokoh pada pendirian.
Namun, apa yang terjadi saat ini? Apakah kekuatan mahasiswa itu masih seperti dahulu?, dan apakah gelar mahasiswa itu masih harum ditengah-tengah masyarakat?. Pertanyaan ini bisa kita jawab dalam diri kita masing-masing, akan tetapi penulias akan mencoba memberikan pandangan sedikit terkait pertanyaan diatas. Tentu proses demokrasi yang saat ini berlaku di Indoensia tidak terlepas dari campur tangan dari mahasiswa, namun itu terjadi dahulu, saat ini penulis berpandangan bahwa mahasiswa mengalami degradasi moral yang sangat jauh, karena tidak banyak mahasiswa saat ini yang tidak mau turun langsung berjuang bersama rakyat, banyak mahasiswa saat ini keluar dan bersuara kepermukaan ketika ada suasana yang sedang viral dan menjadi banyak perhatian orang, itulah yang disebut penulis dalam judul diatas sebagai Aktivis Momentum, mahasiswa hadir ketika ada suatu keadaan yang menjadi banyak perhatian orang, tidak lagi hadir ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami penindasan, bahkan saat ini ada lagi slogan yang berkembang bahwa mahasiswa itu sudah menjadi borjuis kecil, apakah itu benar? Seperti diatas tadi penulis sampaikan, itu hanya bisa dijawab oleh mahasiswa itu sendiri.
Idealisme mahasiswa yang dulu kita kenal kuat, saat ini seolah layu karea sifat pagrmatisme yang tinggi, apasih pargmatisme itu? Singkatanya pragmatisme adalah sifat yang dimiliki seseorang yang lebih mementingakn kepentingan individu daripada kepentingan bersama. Lalu mahasiswa parmatis itu seperti apa? Mahasiswa pragmatis itu adalah mahasiswa yang selalu menginginkan kesempurnaan cenderung tidak perduli akan kehidupan disekitarnya, lebih banyak mengutamakan kepentingan pribadinya dibanding kepentingan bersama.
Itulah realita yang penulis lihat saat ini, mahasiswa sekarang ini tidak lagi suka berdiskusi, mahasiwa saat ini tidak lagi suka jika turun langsung ke rakyat dan memperjuangan kepentingan rakyat seperti tempo dulu.
Mahasiswa saat ini hanya ingin bersenang-senang, seperi nongkrong di Cafe-cafe mewah, berpakian mewah dan berlomba-lomba untuk mencapai kepentingan individu, mahasiswa saat ini egois, apatis, pragmatis bahkan ikut aktif turun kejalan untuk menyurakan kepentingan rakyat bukan lagi berdasarkan hati nurani, namun hanya untuk berselfi ria, dan untuk kepopuleran semata. Jadi siapa yang disalahkan dalam persoalan ini? Apakah senior yang tidak mengajarkan akan peran sentral mahasiswa itu seperti apa? Apakah ini terjadi akibat dari perkembangan zaman?.
Dalam persolan ini penulis, memberikan pandangan lagi, bahwa keadaan mahasiwa saat ini yang prgamatis, oportunis, apatsi dan egois bukan karena para senior tidak mengajarkan hal-hal baik tentang tugas dan fungsi seorang mahasiwa, namun itu terjadi akibat dari perkembangan zaman yang tidak bisa diimbangi oleh mahasiswa itu sendiri, dan juga masuknya budaya-budaya barat yang tidak bisa dicegah oleh pemerintah. Kenapa pemerintah tidak bisa mencegah masuknya budaya-budaya luar?
Itulah jika orang yang ada didalam pemerintahan itu adalah orang-orang yang serakah, orang-orang kapitalis yang lebih mementingkan kepentingan individu daripada kepentingan banyak orang.
Demikian lah realita yang penulis amati saat ini, sehingga perlu peran penting seluruh stakeholder untuk mengubah pola pikir generasi muda bangsa Indonesia ini agar tetap tidak lupa akan sejarah (Jas Merah) dan rasa Nasionalisme itu tetap terpatih dan tertanam dalam hati para generasi muda hingga akhir zaman.