Penulis : Raden't,
Penulis Jalanan
Lidinews.id - Andaikan saya tidak di lihat oleh tiga lelaki dan satu gadis berkaca mata di Bima usai Magrib tadi, Selasa, 16 Mei, pukul 18:40 Wita, mungkin saya masih mendorong motor di pinggir jalan.
Sebut saja nama mereka Ade, Hermansyah, Suzy dan Nining. Umurnya, saya perkirakan masih belasan tahun. Tampak mereka masih remaja dan berstatus pelajar. Jika prediksi saya salah, mohon dimaafkan, karena saya bukan ahli nujum. Awal mula kami bertemu, saat mereka melajukan motor dengan kecepatan pelan, tiba-tiba salah seorang di antaranya bertanya kepada saya.
"Kenapa motornya bang?"
Belum sempat saya menjawab, ia lalu menyuruh saya menepikan motor dari jalan utama. Sejurus kemudian mereka berhenti. Kemudian saya menjelaskan sekenanya kenapa bisa saya sampai mendorong motor. Setelah paham dan tanpa basa basi mereka lalu mengangkat sadel motor saya yang di dalamnya terdapat kunci motor yang sempat terkunci kurang dari satu jam sebelumnya.
Iya, saya sedang melakukan perjalanan dari kampung saya Dusun Kuta di selatan Kabupaten Dompu menuju salah satu desa di Kabupaten Bima. Saya start dari rumah setelah menuntaskan kewajiban sebagai hamba tuhan. Usai sholat asyar, saya langsung pamitan pada ibu yang sedang bersantai di pelataran rumah. Ada hal penting yang mengharuskan saya untuk bergegas ke kabupaten tetangga.
Saya memang agak terburu-buru, setelah pulang dari lokasi pekerjaan. Saya khawatir kemalaman di perjalanan. Dengan jaket dan helm di kepala, saya langsung tancap gas. Tidak lupa saya bawa motornya. Sendiri?. Ya, saya sendiri. Dalam perjalanan, tidak terhitung puluhan kendaraan yang berpapasan dengan saya. Dengan motor jupiter yang berusia semenjana, saya terus tancap gas hingga sampai di tempat pengisian bensin di kota Kabupaten.
Sesampainya di perbatasan kedua kabupaten di ujung Pulau Sumbawa ini, sapuan mentari perlahan memberi tanda akan mulai masuk keparaduannya. Malam mulai menyambut. Suara lantunan Al-Quran mulai sayup-sayup terdengar dari pengeras mesjid perkampungan yang saya lewati. Waktu sholat magrib tidak akan lama lagi ditunaikan. Benar saja, ketika memasuki desa Kalampa, saya akhirnya memutuskan untuk sholat Magrib di desa setempat.
Namun nasib sial menimpa saya ketika saat memarkirkan kendaraan di pelataran masjid. Mungkin karena terburu-buru, niat hati ingin menyimpan jaket ke dalam jok motor, namun kuncinya ikut masuk dan tangan saya terlanjur menarik sadelnya. Hum... apes. Terkunci. Mula-mula saya agak panik, namun sholat magrib harus segera saya tunaikan. Menghadap tuhan adalah kewajiban. Melaksanakannya harus khusyuk. Setelah mengambil air wudhu dan sholat berjamaah dengan tamu tuhan yang lain, saya pun berusaha membuka sadelnya agar kunci motor bisa diambil.
Bahkan saya sempat meminta tolong pada jamaah yang memiliki kunci motor yang bermerek sama dengan motor yang sama kendarai. Lagi-lagi tidak berhasil. Hasilnya nihil. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk mencari bengkel terdekat. Walau pun saya sempat bertemu dengan teman lama di desa setempat, namun ia tidak bisa membantu. Ia meninggalalkan saya dengan ucapan "kalembo ade" (sabar).
Saya kembali mendorong motor walau dengan nafas tersengal-sengal. Sementara perjalanan masih harus dilanjutkan. Pulang kembali ke Dompu bukanlah pilihan yang tepat. Melanjutkan perjalanan untuk sampai pada tujuan merupakan pilihan yang realistik.
Sekira jarak lima puluh meter dari arah masjid, di situlah saya disapa oleh Ade, satu dari remaja yang ikhlas menolong saya. Ternyata ke empat remaja ini baru pulang berpiknik. Itu saya tahu, ketika kami terlibat perbincangan usai berhasil membuka jok motor saya. Mereka sedang pulang menuju kampungnya di Desa Laju, Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima.
Nining sendiri yang cewek. Sekilas Nining bercerita pernah merantau ke luar negeri dan kini sudah kembali ke kampung halamannya. Cewek yang berkaca mata ini, tampak ramah dan mudah akrab pada semua orang. Ia cewek periang. Itu saya nilai ketika kami berbincang beberapa topik dengan teman-temannya. Malah dia pula yang ikut membantu atas keberhasilan mengeluarkan kunci dari dalam jok motor yang sebelumnya terkunci.
Saya sangat senang ketika kunci saya berhasil diambil. Itu dilakukan dengan mengangkat sadel di bagian kiri dan kanannya. Nining mengangkat di bagian kanan, sementara di bagian kiri Ade dengan pelan mengangkat sadel motor agar tangan mungil Suzy bisa masuk ke dalam jok. Kemudian Hermansyah menekan bagian ujung sadel motor agar tidak patah.
Alhamdulilah kunci berhasil diambil tanpa mencedarai tangan mungil Suzy. Pada keempat remaja ini, saya mengucapkan syukur. Mereka serupa embun yang membasahi kepanikan saya yang terlanjur melangit. Entah apa alasan mereka berbaik hati menolong saya yang sedang kalut dalam kebingungan. Nampak tuhan berbaik hati mengirimkan ke empat remaja ini untuk sudi dan bersedia menolong hambanya yang penuh dengan kekhilafan ini.
Mungkin ucapan terima kasih tak cukup mewakili untuk disampaikan pada Ade dan teman-temannya. Saya tidak tahu, apakah mereka pernah masuk pesantren sehingga mendapat pencerahan dari guru agama begitu pentingnya menolong sesama. Atau mungkin mereka sering menonton ustadz Adi Hidayat atau Ustadz Abdul Somad di YouTube, bahwa menolong sesama adalah sebuah keharusan dan dicintai tuhan.
Bahkan saya tidak tahu, apakah mereka pernah mendapat nilai bagus untuk mata pelajaran agama di sekolahnya. Terlepas semua kemungkinan yang ada, kesediaan menolong yang dilakukan ke empat remaja ini terhadap saya usai Magrib tadi, membuat hati saya tersentuh. Jiwa saya serupa dibasahi embun pagi. Perbuatan baik yang mereka tunjukkan, seolah menampar hati saya yang kadang angkuh.
Pada tuhan, saya melangitkan doa untuk keempat remaja hebat ini. Tidak semua remaja yang memiliki karakter welas asih seperti itu. Di butuhkan pembelajaran dari semesta baru bisa terbentuk sikap untuk bersedia menolong sesama. Bahkan pendidikan keluarga memegang peranan penting dalam mendesain prilaku seorang anak. Maka dengan penuh keyakinan dan tanpa bermaksud berlebihan, mungkin keempat remaja ini pernah mendapatkan asupan pendidikan keluarga yang baik.
Sebelum berpisah, saya sempat meminta waktu mereka untuk mendokumentasikan momen pertemuan kami. Mereka serentak mengangguk tanda setuju. Dua kali jebretan camera handphone dari tangan Nining dengan gaya selfie, gambar kami mengawet dalam camera. Sejurus kemudian kami berpisah di tengah sorotan cahaya kendaraan yang lewat. Sesaat berpisah, tiba-tiba saya teringat peribahasa tempo dulue.
"Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi. Kalau ada umur yang panjang bolehlah kita berjumpa lagi."