Gambar : Aktivis GMKI Desak Kemendikbudristek Evaluasi Perguruan Tinggi. Lidinews.id |
Lidinews.id - Perguruan tinggi (PT) tengah menjadi sorotan. Dunia pendidikan tinggi, terutama kampus, kembali tercoreng. Setelah Rektor Universitas Lampung kini perguruan tinggi dihebohkan oleh penetapan Rektor Universitas Udayana sebagai tersangka kasus korupsi SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi).
Penetapan Rektor Universitas Udayana menjadi tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Bali menunjukkan bahwa masih adanya oknum yg melakukan korupsi didalam suatu lembaga pendidikan tinggi yang katanya tempat untuk mempersiapkan pemimpin masa depan bangsa.
Berilmu memang harus dengan bermoral. Karenanya, menjadi manusia yang berilmu harus diimbangkan dengan keseimbangan kepribadian dan moralitas. Apalah arti seorang profesor jika tidak mencerminkan teladan perilaku yang baik bagi kehidupan, walaupun secara nalar bahwa perkembangan tingkat pertimbangan seseorang sangat berhubungan dengan tingkat intelegensi pengetahuan dalam memahami nilai-nilai kehidupan.
Aktivis GMKI Desak Kemendikbudristek Evaluasi Perguruan Tinggi.
Tidak bisa dimungkiri, kasus ini sangat berdampak terhadap kepercayaan publik dan terhadap eksistensi kampus. Dengan kebebasan informasi, publik kini sudah semakin cerdas dan pintar dalam memilih dan memilah informasi. Secara etis, kasus ini sudah membuat citra kampus dalam keadaan yang tidak telah kehilangan marwahnya di tengah masyarakat, mulai luntur kekuatan sebagai "agent of change" dan transformasi sosialnya.
Korupsi di perguruan tinggi negeri (PTN) dengan kedok penerimaan jalur mandiri sudah lama menjadi rahasia umum. Proses seleksinya yang cenderung tertutup membuka ruang bagi kampus untuk menerapkan praktik “transaksional”.
Saya melihat bahwa praktik korupsi dalam rekrutmen mahasiswa baru, yang harusnya berbasis merit dan keadilan, kini semakin gencar di tengah meningkatnya iklim kapitalisme akademik. Demi menjaga marwah perguruan tinggi, kita perlu mendorong perubahan secara sistemik.
Ada beberapa catatan penulis didalam tulisan ini:
Pertama, Gagalnya pendidikan antikorupsi. pendidikan antikorupsi ternyata belum mempan membenahi mental korup. Pendidikan sebagai investasi intelektual dan moral bangsa, seharusnya menjadi alat membentengi bangsa dari korupsi. Kita perlu menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan kampus adalah sebagai penopang pembangunan mental dan moral
Akan tetapi, merevolusi mental bukanlah pekerjaan mudah dan tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. Pendidikan di kampus itu tak hanya untuk peserta didik di semua jenjang pendidikan tinggi, melainkan juga pejabat yang memiliki otoritas atas kebijakan dan anggaran pendidikan yang bersangkutan serta rekanan pemerintah pusat dan daerah.
Gagasan antikorupsi harus kafah terutama dalam hal sistem perencanaan, penganggaran, dan implementasi belanja dana pendidikan. Terutama pada hal pembagian kewenangan yang memadai pada berbagai institusi pendidikan serta pengawasan atas penggunaan kewenangan tersebut.
Kedua,persoalan integritas kampus. Ke depan kampus perlu mengedepankan paradigma yang berperspektif etis. Misal, penulis prihatin dengan beragam problem yang melanda sejumlah kampus, terutama kampus negeri.
solusi yang bisa dilakukan dalam mencegah tindakan korupsi dalam penerimaan mahasiswa jalur mandiri dihapuskan. Calon mahasiswa bisa mendaftarkan diri melalui jalur seleksi SNMPTN, SBMPTN, dan BEASISWA yang disediakan
Penulis juga meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengevaluasi seluruh rektor di Indonesia
"Saya meminta kepada Pak Nadiem selaku Mendikbud ristek bersama Dirjen Dikti dan seluruh jajaran melakukan evaluasi terhadap seluruh rektor di Indonesia bahkan bila perlu copot rektor yang tidak dapat mewujudkan visi perguruan tinggi" ucap Simson.
Aktivis GMKI Desak Kemendikbudristek Evaluasi Perguruan Tinggi.