Lidinews.id - Sebuah gambar hasil tangkapan layar (Screen Shoot) dari story' seseorang, menjadi Image status facebook seorang guru salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Kabupaten Bima.
Nampak pada gambar itu di dalam ruangan kelas sebuah kursi kayu dengan posisi dibalik berikut kobaran api di bagian bawahnya. Pada gambar dimaksud tertulis keterangan bernada kesal dan marah (sarkas). Rupanya, itu story' dari salah seorang murid Sang Guru yang tidak terima rambutnya dicukur.
Postingan itu masih hangat sekitar sehari yang lalu sebelum tulisan ini ditulis. Respon netizen cukup ramai dilihat dari like, share dan komentar. Saat saya hendak menulis, jumlah like dan share sama-sama di angka 125. Sementara jumlah komentar mencapai 90 komentar. Kendati tidak begitu viral, namun cukup menyita perhatian publik di skala lokal kabupaten Bima.
Alih-alih menerangkan duduk perkara kejadian entah untuk tujuan apa, caption postingan sang guru justru tidak kalah non etis dari keterangan gambar story' yang discreen shoot itu. Perihal ini yang kiranya akan menjadi sorotan saya dalam merealase tulisan ini tanpa peduli bejibunnya komentar yang banyak menghujat murid (pemilik story') dan terkesan menyemangati Sang Guru(Pemilik Postingan).
Pemilihan judul tulisan ini pun terkesan berlebihan pada potongan kalimat: "SISWA BAKAR SEKOLAH".
Betapa tidak, usut punya usut, ternyata yang dibakar hanyalah beberapa lembar kertas di lantai kelas tepat di bawah kursi yang dibalik posisinya. Itulah kenapa pada kata "SEKOLAH" dalam judul itu saya apit dengan tanda petik. Namun ini bukan tanpa alasan, sebab saya sesuaikan dengan keterangan postingan Sang Guru yang juga menjelaskan demikian. Jika akhirnya realita berkata lain, tidak ditemukan sekolah yang terbakar, wong itu caption pemilik postingan kok.
Guna menjaga tulisan ini dari "ke-tidak etis-an", saya mendisiplinkan diri untuk tidak menulis kembali serupa apa bahasa yang digunakan Sang Empunya postingan(guru) sebagai caption postingannya. Begitu juga dengan keterangan gambar dari story' si murid. Cukup kiranya saya menyikapinya dengan; betapa diksi yang dipilih untuk caption-caption itu telah keluar dari batasan profesi guru dan murid, sembari berharap semoga skala insidennya tidak kian meluas, khawatir spekulasi publik wa bill khusus orantua murid mengindikasikan; saling update status guru versus murid ini tidak lebih karena faktor dendam.
Postingan itu memantik saya untuk menelusuri kembali beberapa file konflik antara guru dan murid di lingkungan sekolah yang bahkan merembet ke luar sekolah. Membaca kembali serta menyimak respon publik atas kejadian-kejadian itu. Menghayatinya sembari koreksi diri.
Untuk tidak menggiring semua kejadian guna membatasi tulisan, sebut saja misalnya, insiden yang cukup mengiris sanubari dari beberapa kejadian adalah, kasus tahun 2011 silam di MTsN Padolo Kota Bima, seorang murid memukul gurunya atas suruhan orantuanya. Kasus yang diketahui merupakan tindakan balas dendam terhadap guru lantaran sehari sebelum kejadian memukul muridnya itu. Atau yang terbaru belum genap setahun lalu, Bulan Agustus 2022, seorang siswa SMAN 1 Belo, mengalami retak pada lutut akibat dipukuli gurunya.
Tentu saja Kejadian yang diposting oleh sang guru dalam status facebooknya itu, menambah daftar rentetan konflik guru dan murid di lingkungan sekolah.
Fokus dari upaya menelusuri kembali jejak-jejak insiden itu adalah animo publik dalam merespon konflik-konflik dimaksud. Mencari kambing hitam menjadi tak terelakkan. Saling menyalahkan masih menjadi warna publik dalam menyikapi insiden-insiden itu. Dari yang saya amati, murid dan orantua menjadi pihak yang paling banyak disalahkan. Bahkan yang sulit dicerna oleh akal sehat, sebagai opsi lain pelampiasan mencari kambing hitam, ada pula yang membanding-bandingkan stereotipe siswa secara temporer antara era jadul dan masa kini. Entah bagaimana menarik benang merah dari perbedaan zaman sementara era kontemporer adalah era yang dirundung kemajuan melampaui masa silam. Panorama pengaruh ruang dan waktu tentu saja menyuntikkan perbedaan pengetahuan, karakter dan pola sikap.
Sampai kapan gelombang saling meng-hakim-i ini bakal menemui pangkal hujungnya atau setidaknya diminimalisir? Selama landscape yang ditampilkan dalam setiap menyikapi konflik masih itu-itu saja (saling menyalahkan), sikap ini justru menjadi embrio sulitnya menemukan resep mujarab untuk menggunting mata rantai konflik di lingkungan pendidikan.
Berkiblat pada kejadian mutakhir dari postingan oknum guru tersebut, bagi saya, mengkonfirmasi potret buram dunia pendidikan Dana Mbojo justru berimbang. Betapa tidak, bagaimana bisa seorang guru menarik kesimpulan untuk menempuh tindakan "ngamuk-ngamuk" di Media Sosial sebagai upaya patut dalam menyikapi persoalan hubungannya dengan siswa, rela melucuti kompetensinya di balik profesi mulianya itu di ranah publik dengan diksi-diksi "liar" yang tidak mestinya berseliweran dari lisan sosok pendidik. Disambut riuh respon netizen saling bersahut di kolom komentar yang menyudutkan si murid.
Menyusun tulisan ini tentu tidak sebagai upaya turut nimbrung dalam lingkaran perburuan si Kambing hitam (saling menyalahkan). Kejadian ini bagi saya menjadi bahan penghayatan untuk intropeksi diri. Menyimak rentetan kejadian lalu menimbang-nimbang untuk berhenti menjadi "polisi" bagi orang lain (menangkap siapa tersangka dan siapa korban). Tanpa menghakimi si guru lantaran mungkin terlanjur "keliru" melampiaskan kekesalan terhadap murid ke Media Sosial. Tidak pula dalam rangka mengutuk ulah si siswa atas ke-labil-an-nya meng-update story' di Media Sosial sebagai upaya protes tidak terima rambutnya dicukur sang guru. Insiden ini berimbang skor 0:0 (kosong-kosong).
Ruang lingkup dunia pendidikan bukanlah sistem tunggal yang dijalankan sepihak. Keluarga, Lingkungan Sosial dan Lingkungan Sekolah (In Formal, Non Formal dan Formal) adalah komponen penting yang komperhensif. Ini menjadi lndikator bahwa mencari kambing hitam adalah tindakan yang tidak equel. Butuh upaya mengharmoniskan ketiga elemen penting ini guna merumuskan kembali bersama metode yang tepat. Diinisiasi bersama sebab masalah pendidikan adalah masalah kolektif. Malah akan sangat produktif bila penggeraknya adalah kaum menengah dan Pemerintah Setempat. Wallahu'alam...!
Penutup, ujian terberat bagi seorang guru dalam mendidik siswa adalah faktor afektif. Sementara kognitif dan psikomotorik hanya bonus. Itulah kenapa guru mesti mumpuni di bidangnya. Dari insiden ini jika ditanya saya peduli terhadap siapa (guru atau murid)? Jawaban saya; "Save Dunia Pendidikan Dana Mbojo."
(Bima, 03 Februari 2023)
Reporter : Alif Milla Ate