Lidinews.id - Ketika sapuan mentari pagi menyapa semesta, beberapa orang dengan berlagak ala preman menyambangi sekolah tempat dimana saya mengajar.
Mereka tamu tanpa di undang. Pakaiannya serba necis ala pegawai bank. Mereka tampak gagah dan berjalan begitu pede. Sesampainya di depan ruang guru, tanpa memberi salam, mereka bertanya keberadaan kepala sekolah. Seorang guru lalu mengarahkannya ke ruang kepala sekolah di sudut gedung.
Di dalam ruangan yang tidak seberapa besar itu, mereka berbincang tanpa satu pun guru mengetahuinya. Setelah mereka pulang, seorang guru mengatakan, mereka adalah tim sukses bupati terpilih. Mereka di 'takuti' oleh banyak pejabat, karena bisa memberi saran kepada bupati agar memindahkan seorang pejabat ke tempat terjauh jika tidak mengindahkan keinginan mereka.
Mereka sangat berkuasa. Sebab, jika ada pejabat seperti kepala sekolah yang tidak bisa 'bermain' dengan pola yang mereka tentukan. Maka bersiap - siaplah untuk mengangkat koper, atau akan di turunkan dari jabatannya sebagai kepala sekolah. Sehingga bagi sebagian kepala dinas dan kepala sekolah, lebih memilih bermain 'cantik' agar kursi kekuasaannya masih bisa ditempati.
Bahkan menurut kabar angin, tidak jarang para pejabat memberikan setoran kepada preman bupati ini. Di sebut preman, karena cara yang mereka lakukan serupa preman di pasar sana. Mengancam. Mengintimidasi. Bahkan tidak jarang memeras korbannya yang disertai ancaman pemecatan. Mereka merasa di atas 'angin' karena dekat dengan kekuasaan.
Kepada mereka, bupati seolah tidak bisa berbuat banyak, karena ada utang budi yang melekat. Bupati bisa menjadi kepala daerah karena perjuangan mereka. Di politik, mereka disebut tim sukses atau tim pemenangan. Ketika jagoannya terpilih, maka mereka dengan leluasa memainkan peran untuk memetik buah dari usahanya selama menjadi tim pemenangan.
Dalam menjaga eksistensinya, mereka tampak serupa 'anjing' penjaga penguasa. Di pujinya bupati setinggi langit, sekali pun sang bupati tidak becus dalam menjalankan roda pemerintahannya. Dan ketika ada pihak yang datang mengkritik bupati, mereka siap pasang badan, juga pasang baliho. Menggonggong serupa 'anjing' kelaparan. Menjaga majikannya dengan segala daya upaya.
Ketika bupati menuntaskan satu program. Maka mereka memujinya setinggi langit. Dan menariknya, bupati senang di puji oleh penjilat seperti mereka ini. Walau pun pujian mereka hanyalah fatamorgana. Jauh dari kata tulus. Ini semua demi menjaga agar eksistensinya dilingkaran kekuasaan tetap langgeng. Kekuasaan di rasa milik nenek moyangnya sehingga harus dipertahankan dengan cara apa pun.
Kalau di lihat sepintas, mereka penjilat kekuasaan ini tidak memiliki kompetensi apa - apa tentang politik dan pemerintahan. Di antaranya hanyalah tamatan sekolah dasar, bahkan ketika berbicara bahasa Indonesia serupa gado - gado yang sedang diaduk di dalam bascom. Tetapi ketika bicara politik, mereka serupa lulusan perguruan tinggi dengan jurusan politik di kampus ternama. Modal mereka hanyalah nyali. Tidak lebih. Dengan nyali itulah mereka bisa memainkan banyak kartu di dalam kekuasaan.
Ketika berbicara, tidak jarang melantur kemana - mana. Orang bicara kerbau, ia bicara anjing. Seperti dirinya yang hanya bisa menjilat penguasa. Padahal sejatinya, jangankan lawan bicaranya yang paham apa yang ia sampaikan, dirinya pun kadang tidak mengerti tentang apa yang sedang ia bicarakan. Tapi begitulah penjilat. Kabel malunya sudah putus. Tak penting subtansi apa yang disampaikan, karena yang terpenting dirinya bisa berbicara.
Sebenarnya mereka ini adalah sampah
demokrasi. Tapi tidak jarang mereka ini dipelihara oleh penguasa yang sedang berkuasa. Sebab, jika penguasa tidak bisa menjawab tuntutan publik terhadap kebijakannya yang salah, maka mereka inilah yang dilepas untuk menghadang serbuan publik yang tidak senang pada kekuasaan. Mereka menjadi anjing pejaga yang setia setiap saat untuk menjaga majikannya.
Bisa dibayangkan, lembaga pendidikan yang 'suci' dimana generasi dibentuk yang kelak menjadi benteng bagi eksistensi republik ini, masih berani diancam dengan bau busuk mulut mereka yang tidak pernah disikat dengan pepsodent terbaru.
Tapi bersyukur, ketika sekolah menengah atas dan sekolah kejuruan sudah menjadi otoritas provinsi, maka pergantian kepala sekolah tidak lagi menjadi kewenangan kabupaten. Maka lenyaplah praktek - praktek ala preman sebagaimana yang di kisahkan di atas. Tapi sesungguhnya praktek yang demikian sudah menemukan muaranya di tempat lain.
Pengangkatan seperti camat di sebuah wilayah tidak lepas dari praktek politik busuk. Semua berdasarkan pertimbangan politik. Sebab, jika kalau bukan pertimbangan politik maka mestinya kualitas mereka harus diuji dengan standar dan cara yang bisa dipertanggungjawab kepada publik.
Tapi itulah, tampaknya kita sudah terbiasa dengan praktek - praktek busuk seperti itu. Tak peduli seberapa hebat dan jujurnya Anda. Sebab, jika tidak pandai menjilat pada penguasa, maka tamatlah riwayat mu. Karena kejujuran, kredibilitas, totalitas, kepedulian serta keberpihakan kepada kaum marginal menjadi tidak penting.
Praktek busuk seperti ini sudah menjadi rahasia umum di republik ini, terlebih di tingkat kabupaten. Ada yang benar - benar bekerja untuk rakyat, tapi tidak jarang mencari keuntungan atas kekuasaan yang dipegangnya. Di tambah lagi banyaknya pengikut yang lihai menjilat untuk mendapatkan remah - remah kekuasaan.
Sudahlah, jangan pernah mengharap lebih pada praktek politik seperti ini. Namun jika tidak berlebihan, saya menyarankan tetaplah berpegang teguh pada nilai - nilai yang tuhan anjurkan. Karena kejujuran, totalitas dan kepedulian tidak bisa dikalahkan oleh keburukan apa pun. Bisa saja keburukan memenangkan sesuatu, tetapi itu hanya memberi rasa senang pada pelakunya untuk sementara waktu. Karena kelak, kemenangan sejati pasti tuhan persembahkan kepada mereka yang menjalankan nilai ketuhanan.
Bersabarlah, lebih baik berpegang teguh pada prinsip kebaikan dari pada mendapatkan kemenangan dengan cara menjilat. Karena namanya menjilat adalah perbuatan yang tercela, apa lagi menjilat pantat penguasa hanya karena ingin mendapatkan remah kekuasaan. Yang pasti, sikap itu adalah pilihan yang busuk. Jangankan untuk dinikmati, baunya saja tidak mengenakan.
Tetap semangat, karena ada hari esok yang lebih indah. Sebab mentari tak pernah bosan memberi kehangatan dan kekuatan. Ingat, tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi memberikan apa yang sedang kita butuhkan. Berpositiflah dalam berpikir, karena dunia belumlah kiamat.
Raden't Penulis Jalanan