Penulis: Fiqri Fadia Aqillah
Mahasiswa FKIP UISU
Lidinews.id - Pemerintah hingga saat ini tidak menyadari ada hal yang berbahaya sedang terjadi dalam dunia pendidikan di masa Covid-19.
Masa pandemi covid-19 yang saat ini terjadi tentu tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan dan ekonomi, namun juga berdampak pada bidang pendidikan. Sudah sejak maret 2020, pemerintah menetapkan pembelajaran dengan sistem daring untuk mengantisipasi dan mengurangi penyebaran covid-19 di Indonesia.
Dengan hal itu, tentu banyak pihak yang menyoroti tentang dana pendidikan. Pada hasil rapat kerja antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan Komisi X DPR RI di tahun 2021, menetapkan 20 persen dari APBN atau sebesar 550 Triliun yang dialokasikan untuk dana pendidikan (Sumber www.kemendikbud.go.id).
Tentu tugas kita bersama untuk mengawasi Kemendikbud Ristek dalam penyaluran dana tersebut agar tepat sasaran seperti pembangunan sekolah di pelosok negeri, perbaikan akses menuju sekolah dan meringankan biaya pendidikan khususnya mahasiswa. Kita tidak ingin terjadi penyelewengan dana yang nantinya menjadi ladang korupsi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Namun, dengan dana APBN yang begitu besar, praktek kapitalisme masih saja terjadi dalam dunia pendidikan khususnya pada perguruan tinggi. Uang kuliah yang begitu besar tidak diikuti pula dengan kualitas pendidikan yang baik pula. Sebagai contoh, pada kampus A yang menetapkan uang kuliahnya 6 juta pertahun, jika dikali seribu mahasiswa, ada dana segar senilai 6 Miliar yang diterima kampus tersebut. Keuntungan yang sangat besar didapatkan oleh kampus, dikarenakan minimnya pengeluaran dari segi perawatan infrastruktur dan biaya teknis lainnya, seperti biaya listrik, air, kebersihan, alat mengajar dan lain sebagainya. Hal ini akan terus terjadi setiap tahunnya dikarenakan pandemi covid-19 belum mereda di Indonesia.
Hal tersebut terus menjadi ladang penghasilan bagi para pelaku pendidikan di Indonesia, apalagi tidak adanya pengurangan uang kuliah yang dilakukan oleh pihak kampus, sehingga pihak kampus sangat diuntungkan dengan keadaan covid-19. Keuntungan itu hanya di rasakan oleh birokrat kampus, seperti pegawai, dosen, hingga pimpinan fakultas/universitas, bahkan tidak menutup kemungkinan pemerintah mendapatkan keuntungan dari hal tersebut.
Namun, tidak dengan nasib mahasiswa yang tetap taat membayar uang kuliah, tetapi tidak menikmati fasilitas kampus, antara lain ruang kuliah, laboratorium penelitian, perpustakaan, hingga sistem pengajaran yang tidak maksimal, seperti dosen yang tidak masuk, penjelasan mengenai materi yang tidak berjalan baik dikarenakan tidak semua dosen mampu beradaptasi dengan sistem daring tersebut, hingga pelayanan kepada mahasiswa yang sedang melakukan bimbingan online tidak berjalan lancar dan cenderung menyulitkan mahasiswa itu sendiri. Tentu hal tersebut sangat merugikan mahasiswa.
Di satu sisi, pihak pemerintah pusat hingga daerah dianggap gagal dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang baik, seperti Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang tidak efektif dan tidak dilakukanya evaluasi oleh pemerintah dengan melibatkan kampus dan mahasiswa. Solusi yang diberikan pemerintah cenderung tidak sistematis dan terstruktur, sehingga solusi yang diberikan oleh pemerintah menimbulkan permasalahan baru.
Persoalan lainnya yang terjadi adanya pemikiran tanpa dasar bahwa sekolah dan kampus adalah tempat yang rentan dalam penyebaran covid-19. Padahal lokasi lain seperti mall, taman, pusat perbelanjaan, rumah ibadah tidak menutup kemungkinan pula terjadi penyebaran covid-19.
Tentu, kita tidak ingin pendidikan bagi generasi emas dikorbankan hanya untuk keuntungan sesaat. Karena, generasi sekaranglah yang akan mewujudkan Indonesia emas 2045 nantinya. Masa depan kami (pelajar) lebih penting dari apapun itu.