terkini

Iklan Podcast

Sengkarut Guru Perempuan dalam Perspektif Hegemoni Sosial dan Gender

Lidinews
Selasa, 7/14/2020 09:25:00 AM WIB Last Updated 2023-02-11T03:43:12Z
Foto Ilustrasi seorang istri pergi mengajar hampir setengah hari sementara suami menjadi penunggu pintu rumah
SUMENEP, LidiNews.com |Perempuan adalah insan yang identik dengan kelembutan dan ketelatenan yang lebih mumpuni dibandingkan kaum pria. Dalam perspektif ini tentu terkait dengan pengayoman pada anak didik guru perempuan lebih mumpuni dibandingkan guru laki-laki. 

Atas dasar argumen ini seorang guru perempuan perlu mendapatkan perhatian serius dalam kaitan dengan reward mengajar. Minimal perlu disejahterakan dengan lebih manusiawi. Dalam retorika gender minimal diakui wajib mendapat kesejahteraan setara guru pria. 

Simalakama Guru Perempuan Antara Dua Pengabdian Sosial yang Vital

Guru perempuan baik yang mengajar di lembaga pendidikan negeri maupun swasta pasti bertarung dengan dua bentuk pengabdian yang harus dijalankan sama baiknya. Pengabdian pertama adalah mengajar siswa di sekolah sedangkan kedua pengabdian untuk keluarga. 

Ini seperti makan buah simalakama yang uniknya keduanya bisa dijalankan dengan ikhlas dan berhasil. Sayang segala “hadiah” guru perempuan masih belum sebanding dengan nilai potensi masalah yang dihadapkan jika salah satu pengabdian harus menjadi korban. 

Potret ironi yang tidak bisa dibantah tentang analisis ini ialah jumlah PNS guru perempuan lebih sedikit dibandingkan guru pria. Sedangkan dalam diskursus mikro ternyata banyak guru perempuan mendapatkan honor di bawah standar utamanya di pendidikan swasta. 

Semacam ada hegemoni sosial yang menempatkan insan satu ini sebagai “anasir” tidak bisa membantah. Padahal dalam lingkup sosial lebih khusus mereka memiliki keluarga yang harus dinafkahi. Terutama jika si kepala rumah tangga bukan dari kalangan “beruntung”.

Karena itu masih banyak guru perempuan yang keluar masuk lembaga hanya untuk mencari tambahan kesejahteraan. Mereka menjual ketelatenan dan intelektualitas-nya demi membangun generasi penerus yang cerdas sekaligus menjaga dapur tetap mengepul. 

Guru Perempuan, Ibu Kedua Anak-Anak Bangsa

Jika sepakat dengan paradigma “anak lebih dekat ibunya”, maka secara pararel nuansanya tentu sama dengan frase “siswa lebih dekat dengan ibu gurunya”. Alibi yang menjadi dasar argumen ialah guru perempuan memiliki sisi psikologi yang tenang dan feminim.


Maka dari itu alangkah beruntungnya jika suami memiliki istri sekaligus guru di sekolah. Ketua yayasan dan kepala sekolah pun harusnya mengucapkan “terima kasih” masih ada ibu guru yang mengabdi di lembaga tersebut. 

Karena horizon-nya lebih jelas yaitu anak dan siswa bisa terdidik dan terbimbing dengan baik. Bukankah tidak ada pendidikan yang berkualitas kecuali dilahirkan dari kelembutan dan rasa cinta yang besar?

Lantas pertanyaannya adalah sudahkah apresiasi terbaik diberikan kepada “ibu kedua anak-anak bangsa” tersebut?

Guru Perempuan Melejit Jika Dinamika Kehidupannya “Dihidupkan”

Seorang perempuan tidak ditakdirkan untuk bekerja di sekolah tetapi menjadi “ratu” di keluarganya. Namun melihat geliat masa yang kontemporer mereka juga mewajibkan diri untuk keluar rumah termasuk menjadi guru untuk mengabdi setara pria. 

Apalagi pasca gerakan feminisme di Amerika pada abad 20 dan munculnya idealisme Kartini membuat mereka seakan memiliki legalitas untuk ikut “berlari” bersama pria tanpa harus meninggalkan kodrat kewanitaannya. 

Tentu apresiasi yang mereka inginkan tidak hanya soal rupiah tetapi dinamika kehidupannya harus senantiasa “dihidupkan”. Sebab mereka tidak hanya menjadi milik lembaganya tetapi juga milik keluarga dengan diskursus budaya, spiritual, adat dan sosial yang melingkupinya. 

Jika paradigma ini yang dijadikan dasar pembuatan kebijakan dan tatib sekolah, masihkah ada arogansi dari ketua yayasan, kepala sekolah maupun pemerintah jika guru perempuan terlambat menunaikan kewajibannya mengajar hanya karena masih “menyusui” si kecil?

Akankah memicu konflik di sekolah jika mereka izin sejenak untuk menghadiri takziah keluarga yang meninggal dunia? Bukankah memiliki kaum feminisme yang bersedia berdiri di depan kelas dengan segala kepayahannya adalah pengabdian yang tidak terbandingkan?

Guru perempuan harus terlepas dari sisi hegemoni sosial apalagi anggapan tentang satu mahluk yang terjebak di dalam marginalisasi gender. Justru mereka inilah yang seharusnya diletakkan di depan sebagai perintis bahkan pencetak generasi penerus yang tanpa gagal. 

Penulis: Ags
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sengkarut Guru Perempuan dalam Perspektif Hegemoni Sosial dan Gender

Iklan