Lidinews.com - Ingat Ali Sastroamidjojo ingat Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung 1955. Berkat determinasi Ali Sastroamidjojo, 29 negara Asia Afrika hadir di Bandung pada bulan April kala itu. Agenda itu merupakan penanda penting monumental bagi Indonesia di kancah internasional dalam membangun konsepsi anti penjajahan dan kemerdekaan yang mendambakan tata dunia baru yang damai.
Inisiasi pertemuan besar KAA secara formal diawali oleh pidato Ali di parlemen yang selaku Perdana Menteri, pada 25 Agustus 1953. Ali menyatakan bahwa, "Kerjasama dalam golongan negara-negara Asia-Arab (Afrika) kami pandang penting benar karena kami yakin, bahwa kerja sama erat antara negara-negara tersebut tentulah akan memperkuat usaha ke arah tercapainya perdamaian dunia yang kekal. Kerjasama antara negara-negara Asia Afrika tersebut adalah sesuai benar dengan aturan-aturan dalam PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang menyenangi kerja sama kedaerahan (regional arrangement). Lain dan itu negara-negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian-pendirian yang sama dalam beberapa soal di lapangan internasional. Jadi mempunyai dasar sama (common ground) untuk mengadakan golongan yang khusus. Dan sebab itu kerja sama tersebut akan kami lanjutkan dan pererat.” (Departemen Luar Negeri RI. 1992:11).
Selanjutnya, tonggak perjuangan mempererat semangat persatuan dan kerjasama di antara negara Asia Afrika lahir pada konferensi Kolombo pada 28 April-2 Mei 1954 di Colombo, Srilangka, yang dihadiri Perdana Menteri dan Burma (U Nu), Sri Langka (Sir John Kotelawala), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo) dan Pakistan (Muhammad Ali Jinnah). Pertemuan itu adalah wahana bertukar pikiran dan membicarakan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan serta keprihatinan bersama. Dalam kesempatan itulah, Ali Sastroamidjojo kembali melontarkan gagasan untuk mengadakan pertemuan bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk mempererat persaudaraan dan kerjasama serta mendorong usaha-usaha ke arah tata dunia baru yang damai. Alhasil gagasan itu masuk dalam Komunike Bersama Kolombo. Berdasarkan gagasan itu KAA dapat didorong untuk dilaksanakan dengan pembicaraan pendahuluan di Bogor pada Desember 1954 yang dihadiri Perdana Menteri Burma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), Pakistan (Mohammad Ali) dan Sri Langka (Sir John Kotelawala). Pertemuan Bogor ini kelak dikenal dengan Konferensi Panca Negara karena dihadiri oleh lima negara.
Pertemuan itu menyetujui untuk diadakan Konferensi Asia Afrika di Indonesia pada bulan April 1955. Hasil pertemuan itu juga menetapkan rencana agenda konferensi dan negara-negara mana yang akan diundang serta tujuan pokok KAA. Mereka menyepakati bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka perlu bersatu untuk melawan sisa kolonialisme dan imperialisme di mana kemerdekaan adalah syarat mutlak untuk menciptakan perdamaian dunia.
KAA sukses dibuka pada 18 April 1955 oleh Presiden Sukarno yang dengan berapi-api berpidato dengan judul “Let a New Asia And a New Africa be Born”. Konferensi Asia Afrika terselenggara di Gedung Merdeka Bandung itu secara aklamasi diketuai oleh Ali Sastroamidjojo dengan dihadiri oleh 29 negara dari 30 negara undangan. Terdiri dari 26 negara Asia dan 6 negara Afrika. Adapun 29 negara yang hadir pada saat itu adalah Indonesia, India, Burma, Pakistan, Srilangka, Afghanistan, Kambodja, Republik Rakyat Cina, Mesir, Ethiopia, Ghana, Iran, Irak, Yaman, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Philipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Muang Thai, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan. Sementara satu negara tidak dapat hadir, yaitu Federasi Asia Tengah karena tengah mengalami pergolakan politik dalam negeri dalam melawan penjajahan Perancis.
Selain peninjau Afrika Selatan, turut hadir pula peninjau dari Palestina, Siprus, Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Roeslan Abdulgani, dalam buku The Bandung Connection, menjuluki para peninjau itu sebagai “penyelundup kemerdekaan”. Di mata kaum kolonialis dan imperialis, mereka dianggap telah menyelundupkan spirit Bandung yang menyuarakan kemerdekaan di seantero dunia.
Setelah melalui sidang-sidang, akhirnya pada 24 April 1955 sidang umum terakhir dibuka. Hasil monumentalnya adalah yang kita kenal dengan Dasa Sila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik yang berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Oleh karena semangat yang digelorakan oleh KAA, sejumlah negara Asia dan Afrika pasca terselenggaranya KAA dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sisa-sisa penjajahan. KAA telah menginspirasi perlawanan terhadap ketidakadilan akibat penjajahan dan eksploitasi ekonomi politik negara-negara imperialis terhadap negara-negara Asia dan Afrika.
Konferensi Asia Afrika berhasil membakar semangat dan meningkatkan moral para pejuang kemerdekaan Bangsa Asia dan Afirka yang kala itu tengah melawan imperialisme yang menindas. Tercatat negara-negara yang merdeka dari Perancis pasca KAA adalah Sudan pada 1956, Tunisia pada 1957, Maroko pada 1957, Aljazair pada 1962 dan Kenya merdeka dari Inggris pada 1964. Bahkan lahir negara-negara baru yang merdeka yaitu, Senegal (1960), Mali (1960), Pantai Gading (1960), Ghana (1960) dan Siera Leone (1961). KAA juga mempengaruhi konstelasi global khususnya di PBB. Muncul blok baru selain blok barat dan blok timur yaitu gerakan non-blok yang melahirkan KTT Non-Blok di Beogard, Yugoslavia pada 6 September 1961.
Konferensi Asia Afrika merupakan sejarah penting bagi peradaban bangsa Indonesia dan juga bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang berhasil merdeka dari penjajahan barat. UNESCO pada 2015 telah menetapkan Dasa Sila Bandung sebagai Memory of the World (MoW) UNESCO. Untuk mengukuhkan legitimasi kebesaran sejarah KAA, pada 2018 lalu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia telah meluncurkan buku Pidato 29 Pemimpin Asia Afrika di Konferensi Asia Afrika 1955. Buku tersebut berjudul “Live and Let Live: Asia Africa Unity in Diversity! disusun oleh Rieke Diah Pitaloka, et al dan turut memuat kata pengantar dari Presiden kelima RI, Hj. Megawati Soekarnoputri
Suksesnya KAA tak bisa dilepaskan dari peranan Ali sebagai inisiator, perdana menteri, diplomat ulung sekaligus ketua KAA. Ia telah hidup dalam empat zaman perjuangan yang turut membidani kemerdekaan Indonesia. Pada saat kuliah di Leiden Belanda, Ali bersama-sama dengan Muhammad Hatta, Abdoel Madjib Djojoadhiningrat, dan Pamontjak ditangkap di negeri Belanda karena aktivitasnya dituduh menghasut untuk berontak kepada pemerintah Belanda. Ketika di Belanda, Ali juga aktif berorganisasi dalam Perhimpunan Indonesia yang sebelumnya bernama Indische Vereniging. Saat ditangkap, Ali baru berusia 24 tahun dan akan menghadapi ujian. Walaupun dikawal sipir penjara dan menyandang status tahanan, namun Ali berhasil lulus ujian.
Kawan satu angkatan Bung Karno itu juga sempat dipenjara oleh kolonialisme Belanda karena aktifitas politiknya melawan penjajah saat berjuang di PNI. Ali saat baru keluar dari penjara bahkan sempat “dikerjai” Bung Karno untuk berpidato secara mendadak di Madiun. Ali tidak menolak, ia berpidato dengan lantang di depan ribuan massa yang hadir. Pada pasca proklamasi kemerdekaan, Ali bersama Bung Karno dan Bung Hatta juga sempat ditawan oleh Belanda. Tepatnya pada Akhir 1948, ketika Yogyakarta diduduki militer Belanda. Padahal setahun sebelumnya, dia menjadi salah satu anggota delegasi dalam perundingan Indonesia-Belanda di atas kapal perang Amerika Serikat (AS) bernama Renville.
Kiprah perjuangan dan sumbangsih konsep dan inisiatif Ali Sastroamidjojo selayaknya mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari Negara dalam bentuk gelar Pahlawan Nasional. Ali Sastroamidjojo telah mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan penjajahan kolonialisme Belanda bersama PNI bersama-sama dengan Bung Karno. Kiprahnya dalam Konferensi Asia Afrika merupakan prestasi dan karya yang luar biasa bagi kemajuan bangsa Indonesia dan juga Bangsa Asia dan Afrika. Semangat perjuangan Ali Sastroamidjojo merupakan inspirasi yang dapat menumbuhkembangkan semangat kepahlawanan, kepatriotan dan kejuangan untuk memajukan kejayaan bangsa.
Kiprah Ali Sastroamidjojo adalah mata air keteladanan bagi generasi penerus bangsa yang saat ini mendambakan sosok yang telah menginspirasi dunia internasional khususnya bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk hidup berdaulat dan merdeka dengan setara tanpa penjajahan dan ketakutan. Melalui semangat Ali dan Konferensi Asia Afrika kita juga patut mengingat perjuangan rakyat Palestina yang hingga saat ini sedang berjuang mencapai kemerdekaan sepenuhnya. Perjuangan Ali sebagai inisiator persaudaraan dan perdamaian Asia-Afrika sangat relevan dalam membaca situasi Palestina yang tengah berusaha lepas dari dominasi penjajahaan dan pendudukan bangsa lain.
Kontributor: Galih Andreanto