Foto : Ikhsan Martua Siregar, Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Tapanuli Selatan/LidiNews.com |
Oleh : Ikhsan Martua Siregar (Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Tapanuli Selatan)
Tapanuli Selatan, LidiNews.com - Jumat, 5 Juni 2020. Setelah disahkannya kembali Pilkada serentak tahun 2020 beberapa daerah yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah terkhusus untuk Daerah Tapanuli Selatan kembali hangat membicarakan tentang figur calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Responsnya pun beragam, mulai dari politisi, pengusaha, birokrat, anggota DPR/DPRD, dan keluarga mantan kepala daerah yang sudah pernah menjabat kembali muncul ke permukaan.
Munculnya nama-nama keluarga kepala daerah yang pernah menjabat ini menandakan betapa sullitnya membendung adanya dinasti politik dalam pelaksanaan pilkada.
Dinasti politik pada umumnya dimaknai sebagai pembagian kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan yang hanya terpusat pada sekelompok orang atau keluarga elite tertentu baik karena garis keturunan, hubungan darah, atau karena ada ikatan perkawinan.
Dalam bentuk yang agak halus dinasti politik sering muncul dengan cara mendorong sanak keluarga kelompok elite tertentu untuk terus memegang kekuasaan secara demokratis.
Sehingga Dinasti politik yang didefenisikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga (Wikipedia).
Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga, swalaupun secara hukum bukan merupakan sebuah pelanggaran.
Bahkan dalam konstitusi kita Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Jadi, semua warga negara dari berbagai latar belakang pun dijamin haknya untuk ikut serta dalam kontestasi politik. Kesempatan itu semakin terbuka luas manakala adanya aturan tentang desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah.
Di tengah kebebasan itu, ada satu fenomena yang dirasa janggal, namun sulit dicegah yaitu praktik politik Dinasti.
Memang politik dinasti ini secara hukum merupakan sebuah implementasi yang tidak melanggar hukum, karena hanya dilihat dari aspek legal aspek yang mendewakan mempertimbangkan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih (right to be vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional melalui mekanisme dan system OMOV (one man one vote).
Namun mengabaikan multiflier negetif effect dari Dinasti Politik itu di tatanan implemebtasi yang akan cenderung keluar dari tujuan demokrasi itu sendiri secara umum yaitu menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur dengan konsep yang mengedepankan keadilan, kejujuran dan keterbukaan.
Jika memang tujuan demokrasi kearah kesejahteraan masyarakat, maka Demokrasi Politik dinasti justru akan bertolak dari tujuan demokari itu sesungguhnya, maka alangkah baiknya kita tidak ikut dan tidak mendukung secara etika berkembangnya Politik Dinasti, melalui gerakan menolak dinasti politik yang dibeberapa daerah.
Mudah-mudahan pada pemilu serentak tahun 2020 ini, politik dinasti tidak akan merebak dan berkembang tentunya adanya gerakan masyarakat untuk menolak secara moral dan etika untuk berkembangnya Dinasti Politik, sesungguhnya Politik Dinasti merupakan pola demokrasi berbungkus pola kerajaan.