Oleh : Ian Hardi (Mahasiswa Universitas Pancasakti Makassar)
Sulsel, Makassar, LidiNews.com-Kamis, 4 Juni 2020. Di dalam biomedis terdapat suatu postulat yang tak terbantahkan. Bahwa semua penyakit, termasuk pnemonia yang ditimbulkan infeksi Covid-19, berkaitan langsung dengan kondisi dan kapasitas sistem kekebalan tubuh kita.
Virus ini sedang menguji sistem deteksi sel terhadap patogen dan sialnya, virus ini belum terdeteksi, belum terekam dalam memori sel dengan itu, belum bisa teratasi dengan cepat oleh antibodi kita.
Apalagi kalau tubuh kita lagi menderita penyakit kronis yang berhubungan dengan organ-organ tubuh vital seperti hati, ginjal, jantung dan pembuluh darah/arteri. Covid-19 rentan menimbulkan infeksi cepat dan mematikan bagi penderita hipertensi (tekanan darah tinggi), hepatitis (liver), tuberkolosis (paru-paru), diabetes (gula darah), pnemonia (paru-paru basah), dan kolesterol.
Semua penyakit kronis tersebut berhubungan dengan sistem imun tubuh yang bekerja melalui darah dan sel-sel tubuh kita. Sama halnya dgn menjelaskan mengapa kita menderita penyakit kronis, Covid-19 memperlihatkan kembali hubungan saling pengaruh antara kerja 13 sistem anatomi tubuh manusia, khususnya pernapasan, pencernaan, peredaran darah, endoktrin, limpatik dan sistem ekskresi.
Beruntung jika tubuh kita sehat tanpa ada penyakit kronis.
Kendati sulit bagi sistem imun, upaya antibodi bisa lebih terpusat mendeteksi dan berusaha menghadang replikasi virus pada paru-paru atas dan bawah. Cara kerjanya sama seperti virus influenza, hanya lebih ganas dan antibodi kita belum bisa membedakan dengan cepat ini lawan atau kawan.
Di sini mutu darah kita menjadi penentu. Sel darah merah yg bekerja dengan baik alirkan oksigen dan karbondioksida berkorelasi dengan kerja sel darah putih atau lekosit untuk mengatasi infeksi virus secara perlahan-lahan. Sayangnya, sampai saat ini, para pakar biomedis belum sepakat, apakah jenis golongan darah berpengaruh terhadap tinggi atau rendah kemampuan imun sel terhadal infeksi Covid? Diduga saja, golongan darah A, B, dan AB lebih rentan terhadap infeksi karena memiliki antigen yang mudah mengikat virus ke dalam sel, dibanding golongan darah O tanpa antigen.
Pentingnya mengetahui kondisi penyakit kronis dan kapasitas golongan darah kita sangat menentukan seberapa jauh kita mudah atau sulit terpapar infeksi virus baru ini. Tentu tindakan medis penanganan terhadap pasien dengan gejala ringan dan gejala berat, menjadikan hal ini sebagai dasar pertimbangan dibuatnya tindakan pengobatan dan perawatan pasien Covid. Diagnosis yang tepat bisa menyelamatkan hidup, tetapi diagnosis ceroboh dan tindakan yg keliru bisa mempercepat gagal pernafasan dan matinya organ-organ tubuh vital penunjang perlawanan terhadap infeksi akut ini.
Demikian kita saksikan suasana haru dan galau dialami dokter dan petugas kesehatan, mengurus sekian banyak pasien dengan komplikasi penyakit berbeda-beda dan menurunnya kapasitas imun tubuh pasien lansia. Dokter dan petugas medis bekerja di tengah keterbatasan obat seperti kloroquin dan avigan, tidak memadainya jumlah ventilator, dan alat kesehatan lain yang sangat dibutuhkan. Belum lagi mereka mengalami kelelahan fisik dan mental, tidak dilengkapi APD yang memadai, atau juga sedang menderita penyakit kronis, yang membuat mereka rentan terpapar infeksi dalam ruangan yang dikuasai virus dari pasien kritis.
Sejauh ini tindakan medis yang gagal atau keliru menuju kematian pasien menjadi misteri publik, sementara rekaman tindakan medis yang berhasil menyelamatkan pasien dikabarkan melalui berbagai media. Ini tantangan baru bagi kedokteran selama dan pasca pandemi, mengembangkan pola penanganan yang baku, terukur dan efektif di masa depan, sambil menanti obat-obat anti-Covid dan vaksin diproduksi setahun lagi.
Transparansi publik tindakan medis menjadi sangat penting, setidaknya bagi keluarga dan kerabat pasien yang tak terselamatkan.