Keterangan foto: Logo PLD (Pena Literasi Dinamis), komunitas kepenulisan. Lidinews.com
Karya: Nindya (Pena Literasi Dinamis)
Namanya Dian. Usianya 6 tahun 3 bulan. Ayahnya seorang dokter Spesialis Penyakit Dalam sedangkan Ibunya seorang dokter umum di sebuah klinik yang dekat dengan tempatku mengajar. Gadis yang memiliki kulit putih, hidung mancung, bulu mata lentik serta matanya bulat menambah kesempurnaan wajahnya.
"Hay," sapaku pada gadis kecil yang tengah berdiri di hadapanku.
Hanya menoleh sebentar kemudian sibuk dengan tissue ditangannya.
"Speach delay. Terapi wicara pada usia 2 tahun kemudian berhenti pada usia 3 tahun karena dirasa sudah bisa bicara oleh orang tuanya," kata Bu Lia saat mengantarkan Dian masuk ke kelasku.". Lahir dengan cara sesar. Tumbuh kembang usia 0 sampai 2 tahunnya nggak ada masalah," paparnya lagi.
“Riwayat makannya?”
“Menurut ibunya nggak masalah. Semua dimakan tapi agak kesulitan makan daging.”
“Itu namanya masalah dong,” cibirku. Terkadang merasa gemas terhadap orang tua yang merasa tidak apa-apa tapi justru menjadi boomerang untuk anak mereka sendiri. Kasihan.
Bu Lia hanya tersenyum.
Bu Lia, kepala sekolah sekaligus orang yang mewawancarai orang tua murid baru. Selain form mengenai data diri anak, beliau akan bertanya secara detail tentang tumbuh kembang anak sejak masa kehamilan sang ibu sampai usia sekarang.
"Oke. Terima kasih infonya." Aku tersenyum penuh makna. Bukan hal mudah mendapatkan murid spesial. Sementara di kelasku sudah ada Gina dengan kasus dispraksia dan Faiza yang mengidap ADHD.
*****
"Dian, kita simpan tas di loker ya," pintaku pada gadis yang masih asyik dengan tissue ditangannya.
Tidak ada respon.
"Dian ...," panggilku lagi
"Hah? Apa?" kali ini wajahnya nampak kebingungan.
"Sim-pan-tas-di-loker." Kali ini dengan gerakan tangan. Jariku menunjuk pada sebuah tas berwarna pink lalu mengarahkan ke tempat yang ku maksud dengan loker.
"Itu loker?" tanyanya sambil menunjuk benda yang disebut loker.
"Iya. Kita simpan ya." Tanganku mengangkat tas pink milik Dian.
"Oh ... iya," katanya sambil membawa tas menuju loker.
Hhmm. Aku menghela nafas pelan.
♡♡♡♡♡
Tibalah saat kegiatan makan siang. Waktu yang paling ditunggu anak-anak. Dimana mereka bisa memenuhi kebutuhan tubuh sambil bercengkrama bersama aku dan teman teman yang lain. Sebagian anak sudah duduk di kursi masing - masing. Namun ada pula yang berinisiatif membantuku menyiapkan makanan di meja makan.
Setelah semua siap, aku melihat Dian duduk di depanku. kedua kakinya naik ke atas kursi. Tangannya sesekali masuk ke dalam mulut.
"Duduk di kursi kakinya dibawah." Aku menatapnya lembut.
"Hah?"
Lagi lagi dia tidak memahami informasi yang diberikan.
"Duduk di kursi, kakinya ada di bawah." Kali ini dengan jari yang menunjuk pada kakinya yang terangkat.
"Oh ...," katanya dan segera menurunkan kaki.
Di awali dengan membaca baca doa sebelum makan. Kemudianaku mulai membagikan alat makan. Nasi, sayur dan lauknya akan berkeliling. Mengambil porsi makan sesuai kebutuhan merupakan program dari sekolah tempatku mengajar.
Dengan lahap Dian makan nasi serta sayur dan lauk tanpa menggunakan alat makan yang sudah aku bagikan. Dua telapak tangannya kotor serta lengket. Mejanya penuh dengan nasi yang berceceran. Lantainya basah akibat kuah sayur yang berantakan.
Melihat pemandangan makan siang kali ini, rasanya ingin ku sudahi makan siangku. Gadis cantik di depanku makan tanpa manner membuat nafsu makanku menguap.
"Gunakan alat makan." Aku tersenyum. Mataku menyapu seluruh mata mata kecil dihadapanku.
"Dian tuh, bu. Makannya berantakan," celetuk Umar dari sudut kelas.
Aku hanya tersenyum. Berharap semua muridku memahami informasi yang aku berikan. Namun yang menjadi subjek utama tetap asyik makan dengan tangan yang lengket.
"Dian ... makannya gunakan alat. Sendok menunggu garpunya mendorong," ujarku sambil memberi contoh.
Gadis itu berusaha mengikuti. Walaupun tangannya masih mendominasi masuk ke dalam mulut. Setidaknya terlihat ada usahanya.
Sepanjang makan siang hanya 2 kalimat yang aku ucapkan 'makannya menggunakan alat' serta 'sendok menunggu garpu mendorong'. Mungkin kalau dihitung sekitar 15 kali aku mengulang kalimat yang sama sepanjang makan hanya untuk mengingatkan Dian kecilku.
♡♡♡♡♡
"Capek banget kayaknya." Anggi datang memberiku sebotol minuman dingin.
"Hhhmmm," gumamku. Mataku masih terpaku pada buku catatan mengenai hasil observasi Dian selama satu hari ini.
"Speach delay?" tanyanya lagi.
"Hhmmm ... hari ini aku berasa kaset rusak. Ngomong hal yang sama dan berulang kali." Aku menengguk minuman yang tadi diberikan.
"Namanya speech delay, bisa ngomong tapi masih sulit memahami informasi yang disampaikan. Bukan begitu?" Anggi berusaha mengerti posisiku saat ini.
"Boro boro paham sama tema yang yang sedang dialirkan, Nggi. Simpan barang barang pribadi di loker aja harus 5 kali aku ingetin. Belum lagi, untuk ingat namaku aja susah banget," keluhku mengingat kejadian hari ini dengan Dian.
"Sabar. Kurasa Dian bukan anak yang sulit banget, kok. Pelan pelan pasti ada hasilnya. Inget dulu Gina sama Faiza waktu baru datang." Anggi menepuk nepuk bahuku lembut.
Teringat beberapa waktu yang lalu dua anak spesial itu datang tanpa manner. Apalagi Faiza yang masih sering tantrum apabila keinginannya tidak terpenuhi. Dengan ketekunan ditambah kesabaran serta cinta yang lebih, sekarang terlihat perubahan positif dari anak anak itu.
"Semoga, " harapku.
♡♡♡♡♡
Satu bulan sudah kebersamaanku dengan Dian kecil. Jargon-jargon paten ketika bersamanya tak lagi jadi bebanku. 'Duduk di kursi kaki dibawah' , 'sendok menunggu garpu mendorong' , 'yang masuk mulut makanan atau minuman' dan kalimat-kalimat yang lainnya guna memperbaiki manner Dian.
Akhir akhir ini kulihat Dian lebih baik ketika duduk di kursi. Ketika makan siang tangannya tidak sekotor waktu awal dia makan bersama kami. Nasi yang berceceran juga lebih bisa dihitung jumlahnya. Lantai yang lengket akibat kuah juga sudah tidak ada lagi.
Perubahan lebih baik mulai terasa. Buah dari kesabaran yang Anggi pernah katakan satu bulan yang lalu.
Tiba tiba... sebuah suara khas anak perempuan yang tak asing mengagetkanku, "Bu puput, lihat! Aku gambar netamofosis kupu kupu."
Senyumku mengembang melihat kertas putih di depanku. Sebuah gambar dengan bentuk lingkaran kecil serta oval disampingnya lalu sebuah gambar kupu kupu dengan warna kuning dan pink.
"Ini gambar siapa?" tanyaku pada Dian kecil.
"Gambar aku," jawabnya.
"Ini gambar apa?" tanyaku lagi untuk mempertegas informasi yang aku dengar sebelumnya.
"Netamofosis kupu-kupu," jawabnya sambil tersenyum.
"Metamorfosis kupu kupu, maksudnya?" kataku meluruskan kata yang kurang tepat.
Hanya mengangguk.
Mungkin kata itu terlalu sulit untuk di ulangi.
"Tadi Dian panggil aku apa?" Seolah ingin mendengar sekali lagi.
"Bu puput," anak itu menatap mataku lekat.
Aku hanya bisa memeluknya erat. Rasa senang, haru, serta bangga bercampur jadi satu. Entah bagaimana mendeskripsikannya. Melihat sebuah pencapaian yang luar biasa yang terjadi pada Dian kecil.
“Bu puput,” Suara Bu Lia mengagetkan, membuat ku menoleh menuju ke sumber suara.
“Tolong siapkan portofolio kegiatan Dian selama satu bulan ini ya.” Sambungnya lagi.
Sejenak aku menatap matanya, mencari informasi yang belum tersampaikan melalui kata katanya. Kemudian ku tatap gadis yang tadi ku peluk telah kembali pada kertas dan krayon ditangannya.
“Mulai besok ayahnya akan pindah tugas ke Solo,” suara Bu Lia terdengar lirih. Matanya menatap punggung gadis kecil di samping kananku.
Hanya helaan nafas panjang. Rasa sedih menyelimuti pagiku. Baru saja kucicipi manisnya buah perjuangan.
“Akan ada tempat terbaik untuknya disana, kan?” Aku tersenyum meminta persetujuan dari wanita dihadapanku. Bagiku mendidik bukan hanya mengalirkan pengetahuan melainkan ada cinta yang menjadi jembatannya.
Bekasi, 29 Maret 2020