terkini

Iklan Podcast

Anak-Anak Mengaji Juga Terimbas Covid 19, Pertanda Apakah?

Lidinews
Rabu, 6/10/2020 04:23:00 PM WIB Last Updated 2023-02-11T03:44:13Z

Jawa Timur, LidiNews.com – Corona benar-benar menghantui masyarakat. Tak hanya itu, “serangan” covid 19 selama ini dianggap meruntuhkan berbagai dinamika kehidupan, termasuk dinamika pendidikan.

Dari pengamatan penulis, tidak hanya diskursus pedagogis di sekolah formal saja yang terimbas penyakit corona. Pendidikan non formal juga tidak boleh tidak, harus menutup ruangnya kecuali memiliki perangkat E-learning (pembelajaran berbasis virtual).

Lantas bagaimana dengan anak-anak mengaji di kampung-kampung yang mana mereka harus setoran (talaqqi) atau sorogan di depan kyai-nya masing-masing. Padahal untuk ukuran beliau (Kyai, Red) tidak terlalu banyak yang mengenal sistem pendidikan mengaji secara digital. Bahkan Smartphone pun kadang tidak dimilikinya.

Sekalipun demikian, tidak sedikit langgar, musholla, surau yang tutup dalam artian melarang para santrinya untuk mengaji sementara waktu. Semata agar penyakit tidak menyebar menjadi pandemi tak berkesudahan yang bisa merusak atmosfer pendidikan “ngaji normal” untuk jangka panjang.

Dengan alasan itu, bolehlah tidak mengaji dulu di surau, tetapi santri belajar mengaji di rumah untuk waktu tertentu yang entah sampai kapan belum tahu. Pertanyaannya adalah apa itu efektif?

Bukankah anak disuruh mengaji ke Kyai semata karena orang tua “malas” mengajarkan atau karena secara saintifik wali santri tidak memiliki ilmu yang mumpuni seperti pen-syiar agama nan salaf tersebut?

Bukankah juga setelah mengaji ada wejangan magis dari sang Kyai tentang kehidupan, yang mungkin belum dijangkau logika orang tua santri bahkan memikirkannya pun “tidak” apalagi menyampaikannya menjadi sebuah nasehat?

Polemik ini memang bisa dibantah dari segi poros pandang yang berbeda. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah paradigma tentang masa depan anak yang terkait dengan keluruhan bersikap dan daya kekhusu’an spiritual mereka.

Yang bisa semakin berkurang seiring dengan aksi “stop mengaji ke kyai” yang durasinya terus bertambah akibat pandemi yang kurva pandemik-nya tidak kunjung melandai.

Konsep berpikir semacam ini yang seharusnya melahirkan wawasan paradigmatik baru, akan dibawa kemana sesungguhnya pendidikan tradisional yang menurut penulis paling tinggi dibandingkan pedagogis jenis apapun ini.

Tidak adakah argumentatif baru yang logis, selain belajar secara virtual yang sama saja melakukan generalisasi bahwa anak mengaji di pelosok desa juga harus (di/ter) paksa belajar ala-ala internet?

Tentu subtansi masalah bukan terletak pada solusi praktis pendidikan yang harus digital untuk cegah kerumunan sebagai bagian dari itikad “Habisi Corona”. Akan tetapi diskursus etika moril yang baru yang seharusnya muncul dalam setiap perdebatan di tingkat atas, untuk menilai bahwa ada satu sistem pendidikan yang sejatinya dipikirkan dalam logika yang berbeda.

Jangan pula di-viralkan argumen dinamika pendidikan dinyatakan berjalan lurus, padahal di satu sisi ada diskursus berbeda yang harus dibicarakan terlebih dahulu sebelum digitalisasi pendidikan ala Corona di-share secepat kilat. Pertanyaan logikanya adalah untuk pendidikan yang mana?

Kekhawatiran tetap menjadi kekhawatiran yang niscaya. Antipati pula menjadi muncul dalam konsep tidak tersistem di dalam otak. Apakah itu?

 “Jangan heran jika kultur “anak kecil nyantri” mulai terkikis akibat pandemi sekalipun harapannya muncul “Pesantren Rumah” yang dianggap lebih syar’i”.

Penulis: Ags
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Anak-Anak Mengaji Juga Terimbas Covid 19, Pertanda Apakah?

Iklan