Oleh : Sarinah Novi Astuti, Wakabid Pergerakan Sarinah DPC GMNI KENDARI.
Marsinah adalah salah satu Buruh perempuan yang memiliki energik serta semangat yang tinggi, di kutip dari Harian Kompas, 28 Juni 2000 memberitakan, Marsinah lahir pada 10 April 1969 dan memiliki tipikal buruh perempuan desa yang mengkota tetapi terpinggirkan, tiba-tiba muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk-pikuk industrialisasi manufaktur dan represi penguasa di pertengahan dasawarsa 90-an.
Marsinah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan Sumini di desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk. Ibunya meninggal saat ia berusia tiga tahun, dan ayahnya kemudian menikah lagi dengan dengan Sarini, perempuan dari desa lain. Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya, Paerah yang tinggal bersama paman dan bibinya, pasangan Suraji-Sini.
Meskipun lahir di tengah keluarga yang kurang mampu tidak membuat semangat marsinah untuk
menempu pendidikan surut. Dari kecil ia di didik oleh lingkungan sekitarnya,sehingga jiwanya matang dan penuh keberanian, bahkan semasa ia sekolah marsinah selalu menjadi juara dalam kelasnya, Marsinah juga terkenal dengan sosok yang gemar membaca.
Akibat keterbatasan biaya maka marsinah hanya mampu menyelesaikan pendidikannya sampai ditingkat SLTA. namun semangat nya untuk terus menempuh pendidikan sangatlah tinggi kendati marsinah harus menempuh jalur non formal dengan mengikuti kursus bahasa inggris dan komputer.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putra Surya. pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Dan Marsinah merupakan aktivis dalam organisasi buruh SPSI unit kerja di PT CPS serta ia pun aktif dalam berbagai kegiatan unjuk rasa buruh.
Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR
Jawa Timur ialah Rp. 2.250. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen
Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Bianto, rekan Marsinah, menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tak masuk kerja karena alasan sakit atau melahirkan, tunjangannya akan dipotong.
Maka pada tanggal 3 Mei 1993 Buruh PT.CPS menggelar mogok kerja. Ada sekitar 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang mogok kerja.
"Tidak usah kerja. Teman-teman tidak usah masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang bekerja," kata Marsinah, sebagaimana tercatat dalam Elegi Penegakan Hukum: Kisah Sum Kuning, Prita, Hingga Janda Pahlawan (2010). Yudi yang dimaksud adalah Direktur PT CPS, Yudi Susanto.
Mereka membawa 12 tuntutan; dari menuntut kenaikan upah sebesar 20 persen, sampai membubarkan SPSI karena organisasi tersebut sudah tidak berpihak kepada para buruh.
Demonstrasi di hari pertama itu telah membuat Yudo Prakoso ditangkap militer dan dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong. Yudo diinterogasi, cara-cara memprovokasi buruh untuk demonstrasi dianggap militer mirip dengan gaya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baru sekitar sore hari Yudo dipulangkan dari Koramil. Demonstrasi di hari pertama tidak ditanggapi oleh perusahaan dan buruh pulang dengan tangan hampa.
Mogok kerja di hari pertama itu tak mempan. Yudi Prakoso disibukkan dengan pemanggilan oleh aparat militer. Akhirnya Marsinah yang memegang kendali memimpin protes para buruh.
Keesokan harinya, pada tanggal 4 Mei 1993, para buruh kembali menggelar demonstrasi. Yudi Prakoso tidak ada di lapangan dan Marsinah lah yang memimpin demonstrasi. Jumlah buruh kini meningkat. Bukan hanya buruh pada hari pertama saja, tapi pada hari ketiga mengikuti mogok kerja
dan melakukan demonstrasi.
Kondisi semakin kacau. Para buruh memaksa masuk kantor perusahaan, namun para aparat yang didominasi oleh militer