Foto : Ilustrasi Demonstrasi |
Oleh : Dion Rasu
Sulsel, Makassar, LidiNews.com - Pernah melihat kerumunan massa dengan selebaran poster dan spanduk bertuliskan protes sambil menenteng megafon berjalan kaki? saya rasa kita semua sudah menyaksikannya. Sebelum membahasnya lebih lanjut saya mohon maaf supaya caci maki, amarah, dengki, tak dijadikan balasan dengan tulisan ini. Sebab ini tulisan saya! bukanlah saya yang sebenarnya.
Berbicara tentang kumpulan tukang protes negara saya punya secuil pengetahuan didalamnya, meski seujung kuku saya punya tafsiran sedikit. Nah, begini; berdasarkan sejarahnya demonstrasi dimulai saat era orde lama ketika itu PEMILU pertama kali dilakukan namun bukan mahasiswa yang melakukan tapi kalangan militer yang bertugas mengamankan jalannya PEMIILU tersebut. Bedanya mereka melakukan gerakan (demontrasi) hanya barikade pengamanan bukan seperti yang dilakukan kalangan GERAM (Gerakan Aktivis Mahasiswa) setelahnya.
Konon ketika orde lama memerintah dan mahasiswa menunjukan kebolehannya dengan menyoal kritik pada rezim barulah redesign gerakan demontrasi dilakukan hingga berbentuk Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM). Jadi demonstrasi mahasiswa adalah gerakan yang terstruktur, sistematis dan massif untuk menyampaikan beberapa poin tuntutan.
Sejarah pergerakan mahasiswa memang memiliki beberapa fase, jika merujuk pada demonstrasi yang kita kenal sekarang tentu tidak terlepas dari angkatan 1960,1998 hingga yang paling baru adalah 2019.
Pada tahun 1965 rezim Sukarno tumbang, mahasiswalah yang berperan aktif dalam menyoal krisis ekonomi waktu itu hingga presiden Sukarno turun takhta. Era orde baru 1998 yang masih hangat diperbincangkan mengingat ini bulan mei, tragedi TRISAKTI dan SEMANGGI jadi sejarah jatuhnya Suharto.
Kembali mahasiswa dikatakan turut andil dalam memperjuangkan hak rakyat. Jika dahulu sampai kini demonstrasi bisa menjadi satu-satunya cara agar aspirasi tersalurkan, boleh saja wujud demokrasi yang buntu akibat keruwetan birokrasi sebagai cikal bakal lahirnya gerakan demonstrasi. Sudah dua kali mahasiswa dikatakan berhasil menunjukan kebolehannya menyoal kebijakan pemerintah selama dua rezim berkuasa. Toh bisa disimpulkan dalam demonstrasi terselip moral force (kekuatan moral) yang menjadi acuan mahasiswa berganti dan menambah label perjuangan yakni "Aktivis mahasiswa".
Setelah 1998 nampaknya gerakan demonstrasi mahasiswa menciut, berbeda, dan kebanyakan kehilangan arah. Tokoh-tokoh pentolan 1998 hengkang dari masanya menuju parlemen, menjadi dosen, penguasa partai dan pengusaha. Sebagian masih bertahan dengan memberi sumbangan pemikiran melalui buku yang diterbit, kegiatan advokasi, kegiatan sosial. Adapula yang meneruskan cita-cita perjuangan ke parlemen dan bergabung dengan partai politik tertentu. Idealnya masa idealisme cukup dibicarakan sampai saat itu, entah karena usia atau memang bukan masanya.
Tahun 2000 hingga sekarang demontrasi mulai kehilangan ruhnya, jika dahulu rezin bisa ditumbangkan akibat konsolidasi besar-besaran sekarang demonstrasi terkadang hanya ajang pamer hingga dijadikan lahan basah transaksi.
Demontrasi bisa menumbangkan rezim, bayangkan jika seluruh jalan diboikot, ratusan gedung mewah disandera, situasi negara jadi genting hingga pemerintah menjadi takut pada mahasiswa. Mirisnya, gerakan demontrasi sekarang ini semata-mata menebalkan kantong serta dijadikan ladang isu politik praktis murahan, mesin ATM, tempat TARDU ( TARIK DUIT).
Jika dahulu persiapannya: konsolidasi, kajian isu, kemudian turun ke jalan berteriak atas nama rakyat, bahkan betsifat marathon hingga tuntas. Berbeda dengan sekarang : konsolidasi, aksi, evaluasi transaksi lalu party. Akibatnya makna kemasiswaan dan keaktivisan tercoreng krisis moral! keberadaan gerakan demontrasi tak diakui dan dituduh biang kerusuhan, bukan karena keruwetan intelektual namun posisi yang tak mengenal standar.
Memang masih ada yang setia pada kejujuran hatinya berteman dengan kebenaran tapi mereka jarang diketahui dan mereka adalah segelintir saja. Paradigma yang muncul adalah seolah-olah menjadi aktivis mahasiswa adalah jabatan padahal menjalankannya bisa beresiko penjara dan kematian. Disini, wajar kalau masyarakat menyangsikan suara palsu kebenaran yang didengungkan! bukan karena gerombolan kawanan pemberani namun dianggap payah dan sia-sia.