Sumenep- |Kerentanan sosial pasca pandemi covid-19 adalah dampak negatif yang tidak kalah berbahaya dibandingkan virus corona itu sendiri. Maka dari itu, pemerintah dan pihak terkait tidak boleh asal mengeluarkan kebijakan terkait covid-19.
Menyelamatkan rakyat dari pandemi corona adalah kewajiban yang harus dilakukan pemerintah. Namun, menghindari konflik sosial juga tugas yang tidak kalah penting. Justru jika konflik meluas, negara menjadi tidak aman.
Pertanyaannya adalah apa sajakah kerentanan sosial yang dimaksud? Ini dia penjelasannya:
Kerentanan Sosial pasca Pandemi Corona
Ada banyak konflik yang berpotensi pecah akibat covid-19. Semuanya terkategori berbahaya dan ekstrim. Ini dia kerentanan sosial yang bisa berujung konflik yang dimaksud:
1. Meningkatnya Kriminalitas
Kerentanan sosial pasca pandemi covid-19 yang pertama adalah meningkatnya kriminalitas. Dengan diterapkannya zona merah, PSBB ataupun lock down, berpotensi menimbulkan permasalahan ekonomi.
Karena masyarakat tidak diberikan akses keluar rumah. Sekalipun hanya untuk mengais rezeki sesuai bidang profesi masing-masing.
Mungkin bagi karyawan atau pegawai negeri kebijakan ini tidak menjadi soal. Tetapi bagi wiraswasta tentu sangat berdampak.
Karena kesulitan ekonomi semacam ini, bisa jadi oknum memanfaatkannya untuk melakukan kejahatan. Seperti penjarahan, pencurian hingga pembegalan dengan kekerasan. Nah, untuk mencegah hal tersebut, pemerintah memberikan bantuan sepantasnya bagi masyarakat terdampak pandemi.
2. Hilangnya Pelayanan Terbaik Medis
Yang rawan menimbulkan konflik sosial selanjutnya adalah hilangnya pelayanan terbaik medis. Hal ini disebabkan sebagian besar tenaga medis, perobatan, peralatan dan selainnya difokuskan pada pasien korona saja.
Ini yang beresiko menimbulkan miss komunikasi sosial. Apalagi jika sampai terjadi penolakan pada masyarakat pasien non covid.
Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah membangun banyak rumah sakit darurat. Termasuk mengalihfungsikan wisma atlet dan hotel-hotel di kawasan terdampak. Sejatinya ini untuk menyeimbangkan perawatan antara pasien corona dengan yang non corona.
3. Penutupan Tempat Ibadah
Pemberlakukan tata tertib physical distancing yang tidak proporsional menjadi pemicu kerentanan konflik di musim pandemi. Terutama yang berhubungan dengan penutupan tempat ibadah dan masih dibukanya pasar-pasar.
Tidak dimungkiri ini masih menjadi letupan-letupan polemik yang masih diperbincangkan di media sosial. Bahkan karenanya banyak masyarakat tidak mematuhi himbauan dengan berdasar pada jargon ”tidak kena corona di masjid, bisa tertular di pasar”.
Akhirnya mereka tetap melakukan ibadah di masjid seperti biasa. Apalagi di masa sekarang yang bertepatan dengan bulan ramadan.
Ini tidak lain akibat status perintah yang masih belum jelas. Apakah penutupan tempat ibadah berupa himbauan atau komando. Sedangkan di lapisan bawah sudah dilakukan tindakan penutupan yang terkadang secara sepihak.
4. Arogansi Aparat dalam Menindak Pelanggar Phsycal Distancing
Tidak dimungkiri masih ada oknum yang melakukan penertiban masyarakat pelanggar phsycal distancing dengan kekerasan dan bermain fisik. Ini juga menjadi pemicu munculnya konflik hingga disintegrasi sosial.
Maka dari itu seharusnya penegakan disiplin tidak berefek secara langsung dengan fisik si pelanggar. Mungkin bisa diberi denda, atau menghukumnya ala olahraga semisal lari, push up atau bernyanyi lagu kebangsaan.
Sedangkan jika dengan kekerasan justru bisa menimbulkan masalah baru. Bisa pelaporan atau pembalasan yang memperkeruh keadaan. Jika ini yang terjadi tentu stabilitas dan keamanan negara menjadi terancam.
5. Penolakan Jenazah Pasien Corona
Kerentanan sosial pasca pandemi covid-19 yang terakhir adalah adanya penolakan jenazah pasien corona. Ini membuktikan kalau dalam jangka panjang, masyarakat yang terdampak akan mendapatkan nilai buruk di tengah warga yang tidak terdampak.
Bagaimana tidak! Yang meninggal saja ditolak apalagi masyarakat yang masih hidup tetapi positif virus. Maka dari itu, untuk mencegah konflik meluas, pemerintah harus turun menjelaskan kondisi pasien.
Sosialisasi kalau covid-19 bukan penyakit tabu harus dijelaskan. Jangan pula selalu memakai diksi “mengkarantina diri”. Tetapi gunakan kata, “jangan keluar rumah”. Karena kata “karantina” seakan merujuk pada fakta si pasien mengidap penyakit yang sangat menakutkan.
Itulah beberapa kerentanan sosial pasca pandemi covid-19 yang bisa berujung pada konflik sosial. Maka dari itu, perhitungkan perspektif di atas, sebelum mengeluarkan kebijakan terkait covid. (Ags)