Foto : Rino sengu. Mahasiswa FKIP Sosiologi Universitas Mega Rezky/Lidinews.com
Sulsel,Makassar,Lidinews.com-Jumat, 1 Mei 2020. Perihal pertambangan hari ini telah menjadi momok bagi kehidupan umat manusia, pasalnya pertambangan ini tidak terlalu membawa dampak postif atau pun perubahan bagi umat manusia, yang ada malah umat manusia semakin menderita.
Tanah (lahan) rusak akibat peroyek besar ini, masyarakat harus menghirup udara yang tak segar, alam terus di ekosploitasi. Tak jarang pemerintah dan para korporasi mengajukan argumentasi bahwa pertambangan adalah solusi objektif alternatif dalam peningkatan pembangunan, saya kira itu hanyalah ilusi. Singkatnya pertambangan adalah masalah diskontinuitas alam (manusia dan lingkungan).
Pertambangan sebagai hubungan respirokal
Meskipun pembangunanan yang menjadi orientasi dari pertambangan yang merupakan sektor industri, namun hukum respirokal (eksploitasi pekerja yang terus meningkat oleh kaum kapitalis dapat menyebabkan para pekerja menjadi semakin tidak puas dan lebih militan, tetapi militansi kaum proletariat yang semakin meningkat dapat menyebabkan para kapitalis bereaksi bahkan semakin lebih eksploitatif untuk menghancurkan perlawanan para pekerja) sangat melekat. Hal ini, dapat kita lihat melalui penerimaan upah para pekerja yang tidak sesuai dengan kerja mereka, waktu kerja mereka digarap.
Mengacu pada pemikiran Karl max mengenai aspek-aspek mikrososiologis. Marx percaya bahwa ada suatu kontradiksi nyata antara potensi manusia dan cara mereka bekerja yang diharuskan di dalam masyarakat kapitalis, ketika kita bicara potensi manusia secara umum sering kita menjumpai istilah sifat esensial manusia (species being) yang artinya bahwa manusia memiliki potensi dan kekuatan-kekuatan yang unik yang membedakannya dengan spesies-spesies lain, sifat esensial manusia terkait erat dengan kerja permata.
kerja adalah suatu proses ketika manusia dan alam berpartisipasi dan manusia atas kemauanya sendiri memulai, mengatur dan mengendalikan hubungan-hubungan material di antara dirinya dengan alam. Sifat esensial spesis kita ialah bahwa kerja kita menciptakan sesuatu di dalam kenyataan yang sebelumnya ada di dalam imajinasi kita, produksi kita mencerminkan maksud kita.
Demikianlah, hal itu sebgai suatu proses menciptakan objek-objek luar yang berasal dari objektivasi pemikiran-pemikiran kita bagian dalam kerja demikian bersifat material, kita bekerja dengan aspek-aspek alam yang lebih material. Artinya kita percaya bahwa kerja tidak sekedar mentransformasi aspek-aspek material alam, tetapi juga mentransformasi, termasuk kebutuhan-kebutuhan kita dan bersifat abadi (perennial).
Lalu, apa yang terjadi ketika masa pertambangan telah usai?. pada kenyataanya yang terjadi adalah mereka meninggalkan angka pengangguran yang tinggi yang menyusul kemiskinan yang sistematik.
Nilai surplus pada pertambangan
Nilai itu didefinisikan sebgai perbedaan antara nilai produksi ketika ia di jual dan nilai unsur-unsur yang di habiskan di dalam pembentukan produk itu. Meskipun alat-alat produksi (bahan-bahan mentah dan peralatan yang nilainya berasal dari tenaga kerja yang di pakai untuk mengeduk dan memproduksinya) dikonsumsi di dalam proses produksi. Tenaga kerjalah yang merupakan sumber nyata nilai surplus.
Surplus yang beerasal dari proses di atas digunakan oleh para kapitalis untuk membayar hal-hal seperti sewa kepada pemilik tanah dan bunga kepada bank, pointnya adalah barang yang di hasilkan dari produksi akan di jual kembalikan kepada masyarakat (kaum pekerja) yang nilai jualnya akan dua kali lipat dari upah para pekerja.
Penulis: Rino sengu (Mahasiswa FKIP Sosiologi Universitas Mega Rezky)
Laporan : Fansisius Gunawan