terkini

Iklan Podcast

Puskesmas Lama, Karya Ryanti

Lidinews
Senin, 4/20/2020 12:44:00 PM WIB Last Updated 2023-02-11T03:45:35Z

PUSKESMAS LAMA
Karya: Ryanti

 Hari  ini  aku akanmenghadap Kepala Puskesmas dimana aku ditugaskan sebagai bidan desa yang baru. Puskesmas itu terletak di Pusat Pemerintahan Kota A. Aku mempercepat laju sepeda motor agar segerasampai di Puskesmas Induk. Dalamperjalanan, tak henti aku mengucap syukur. karena SK Pengangkatanku sebagai BidanPTT telah keluar.

Sekitar satu jam, aku sampai di depan sebuah gedung bercat putih yang cukup besar. Ada sebuah papan nama di depan gedung itu. Tertulis di sana Puskesmas Induk X. Setelah memarkirsepeda motor, aku melangkah masuk ke dalam menuju Ruang Kepala Puskesmas. Hari masih pagi, kulihat pasien belum terlalu banyak. Aku memang sengaja datang agak pagi, agar bisa berkenalan terlebih dahulu dengan para staf puskesmas. Aku melewati beberapa ruangan, sebelum akhirnya sampai di ruangan yang mana di atas ruangan itu tertulis sebuah nama Komalasari, SST, SIP, MH. Kuketuk pintu perlahan.

"Masuk." Terdengar suara dari dalam.

Aku membuka pintu dan masuk. Di depanku duduk seorang perempuan berjilbab yang cantik dan anggun. Usianya berkisar empat puluh tahun.

"Assalaamu'alaikum, Bu." Aku mengucapkan salam.

"Wa'alaikum salam," jawab Bu Komalasari.

"Silakan duduk, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Komalasari seraya tersenyum.

Aku kemudian duduk di kursi yang ada di depan meja Bu Komalasari.

"Saya Nenden, Bu. Saya bidan desa baru yang ditugaskan di Puskesmas ini," jawabku.

Kuserahkan map berwarna hijauberisi SK Pengangkatan dan surat-surat lainnyakepada Bu Komalasari. Beliau lalu membacanya. Kemudian beliau memanggil staf TU melalui pesawat telepon yang ada di ruangan itu. Tak lama kemudian, terdengar pintu diketuk dari luar. Perlahanpintu terbuka dan masuklah seoranglaki-laki setengah baya.
Segeralah mengucapkan salam, bapak itu kemudian duduk di sebelahku.

"Pak Firman,ini Nenden. Bidandesa kita yang baru. Tolongdisiapkan semua keperluan untuk penempatan di Puskesmas Pembantu di Desa B." Bu Komalasari memberikan instruksi kepada Pak Firman selaku staf TU Puskesmas.

"Baik, Bu." Jawab Pak Firman.

"Nenden, kamu ikut bersama Pak Firman ke Ruang TU. Nanti akan dibuatkan Surat Tugas dari Puskesmas untuk penempatan kamu di Puskesmas Pembantu di Desa B."

"Baik, Bu."

Aku kemudian berdiri dan berjalan mengikuti Pak Firman ke Ruang TU.

***

"Tunggu sebentar ya Neng," kata Pak Firman setelah kami sampai di Ruang TU.

"Mangga calik." (Silakan duduk)

"Iya, Pak. Terima-kasih."

Aku kemudian duduk di kursi yang ada di ruangan itu. Sambil menunggu, aku memikirkan kata-kata Bu Komalasari tadi. Beliau memberikan Surat Tugas kepadaku untuk bertugasdi Desa B, bukankah itu sebuah desa yang agak terpencil? Apa di sana ada Puskesmas Pembantu? Kalau harus pulang pergi dari rumah ke puskesmas, tentu akan memakan waktu yang lama, karena medan yang ditempuh agak sulit dan jarak yang cukup jauh. Semoga saja bukan Desa B yang aku tahu, yang akan menjaditempatku bertugas nanti, aku berharap dalam hati.

***

"Neng, ini Surat Tugas nya, sudah jadi," kata Pak Firman membuyarkan lamunanku.

"Oh ... Iya, Pak. Terima-kasih. Jadi saya langsungke Puskesmas Pembantudi Desa B, atau bagaimana, Pak?"

"Sebentar, saya tanyakan dulu ke Bu Komalasari ya, Neng. Tunggu di sini."

Pak Firman lalu ke luar untuk menemui Bu Komalasari. KubacaSurat Tugas yang baru saja selesai dibuat oleh Pak Firman. Tertulis di kertas itu dengan jelas Desa B, desa yang aku tahu merupakan sebuah desaterpencil.

***

Tak lama Pak Firman datang. Beliau mengatakan, jika aku mulai besok saja berdinas di Puskesmas Pembantu itu. Hari itu aku mengelilingi setiap ruangan untuk memperkenalkan diri diantar oleh Pak Firman. Semua staf sangat ramah menyambutku.

"Ini bidanyang akan menggantikan Suli?" Tanya TehRina kepadaku. Diaseorang perawat senior.

"Suli siapa, Teh?" tanyaku.

"Eh ... Oh ... Nanti juga kamu tahu." Teh Rina menjawab dengan agak gugup.

Aku mengernyitkan dahi, kenapaTeh Rina tak mau bilangterus-terang? Siapa Suli?Ada apa dengan dia? Apa yang sebenarnya terjadi?Bermacam pertanyaan menggelayut di kepalaku.

***

Keesokan harinya, aku diantar oleh Pak Sugeng, supir Puskesmas Induk menuju Puskesmas Pembantu di Desa B, tempat dimana aku akan menjalankan tugas sebagai bidan, menggunakan mobil ambulance. Jarak yang kami tempuh lumayan jauh, jalan untuk sampai ke sana pun agak sulit, masih tanah merah. Di sepanjang jalan masih banyak tumbuhan liar. Wajarlah, karena Desa B memang merupakan desa terpencil.

***

"Pak Sugengsudah lama bekerjadi Puskesmas?" tanyakupada Pak Sugengmembuka percakapan.

"Sudah, Neng. Dari pertama Puskesmas Induk berdiri, saya sudah menjadi supir di situ."

"Berarti Pak Sugeng tahu dong, siapa Suli?"

Pak Sugeng tak menjawabpertanyaanku. Mata beliautetap memandang ke arah depan. Aku makin penasaran. Aku harus tahu, siapa Suli dan ada kejadian apa di balik diamnya staf Puskesmas ketika kutanyakan namanya.

"Masih jauh ya, Pak?"

"Lumayan, Neng."

"Apa dulu Suli dinas di Puskesmas Pembantu di Desa B, Pak?" Aku betul-betul penasaran dengan nama itu.

"Cerita dong, Pak. Kan saya juga merupakan bagian dari keluargabesar Puskesmas, meskipun status saya Bidan PTT." Kataku sedikit memaksa Pak Sugeng agar mau bercerita.

Pak Sugeng menghela nafas panjang.

"Tiga tahun yang lalu,Neng Suli dinasdi Puskesmas Pembantudi Desa B. Dia sedang hamil enam bulan.
Suatu hari, turun hujan angin sangat deras sampai sore, keluarga Neng Suli menelpon tapi tak tersambung, sedangkan suaminya sedang dinas di Bandung. Ditunggu sampai malam, Neng Suli belum juga pulang.

Akhirnya keluargaNeng Suli mencarike Puskesmas dan Neng Suli ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi."

Aku tertegun mendengar ceritaPak Sugeng. Ya Allah ... Baru saja akan memulaidinas, sudah mendengar kejadianyang menyeramkan. Terus terang aku merasa takut.

"Jadi apa penyebab Teh Suli meninggal, Pak?"

"Sampai sekarang tidak diketahui, Neng."

"Lalu, setelah Teh Suli, siapa yang dinas menggantikan dia, Pak?"

"Tidak ada staf yang bersedia dinasdi sana. Para perawat dan bidan di Puskesmas Induk hanya bergantian piket, itu pun hanya seminggu sekali."

Pantas saja kemaren seluruh staf Puskesmas Induk tidak ada yang bersedia menceritakan tentang kematian Teh Suli kepadaku. Mungkin mereka berpikir, aku akan merasa takut jika diberitahu yang sesungguhnya. Dan memang aku takut, bahkan sangat takut. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlanjur, SK dan Surat Tugasku sudah dibuat dan aku harus melaksanakannya.

***

Setelah menempuhperjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, akhirnyakami sampai di tempat tujuan, Puskesmas Pembantu di Desa B. Aku turun dari mobil, kuamati sekeliling. Di depan Puskesmas tumbuh rumput yang tinggi, ada sebatang pohon nangka tumbuh di sana, begitu pun di samping kiri dan kanan.

Aku berjalan ke belakang,ada kebun yang luas tapi tak terurusdi belakang Puskesmas. Bisa kubayangkan, betapa menyeramkannya harus dinas di tempat sepertiini sendirian. Di depan Puskesmas ada sebuah rumah yang cukup besar. Aku sedikit lega, berarti ada orang lain yang tinggal di sini selain aku. Pak Sugeng membuka pintu Puskesmas dan kami masuk ke dalam.Bau debu yang sangat menyengat, menandakan sudah lama tak tersentuh manusia.

Bangunan itu terdiri dari ruang pendaftaran, ruang tunggu pasien,ruang periksa, ruang obat, ada dapur dan kamar mandi. Di sampingnya ada beberapa ruangan yang cukup besar, ada dapur dan kamar mandi.juga, semua ukurannya lebih besar dari yang pertama.

"Ini perumahan pegawai, Neng." Kata Pak Sugeng.

"Memangnya pernah ada yang tinggal di sini, Pak?" tanyaku.

"Dulu ada pegawai yang tinggal di sini. Tapi setelah dia menikah, dia pindah tugasdi tempat lain."

Pak Sugeng banyak berceritatentang keadaan Puskesmas, karena beliau adalah pegawai lama di sana.

***

Kami lalu membersihkan Puskesmas itu. Pak Sugeng memotong rumput dengan alat pemotong rumput yang beliau bawa dari Puskesmas Induk. Aku membersihkan bagian dalam, menyapu fan mengepel lantainya. Kotor sekali.

Sampai pukul 04.00wib kami baru selesai. Meskipun belum seluruhnya terlihat rapih, tapi lumayanlah dibandingkan saat kami baru datang tadi.

"Pak, sudah jam empat lewat, kita pulang saja sekarang. Biar besok kita lanjutkan lagi." Aku mengajak Pak Sugeng pulang.

"Tapi besok saya belum tentu bisa mengantar lagi, Neng. Ada jadwal Posyandudi Desa C."

"Oh ... Ya sudah.Biar nanti saya saja yang meneruskan. Saya kan bawa motor, Pak." Kataku pada Pak Sugeng,padahal dalam hati aku sungguhkhawatir.

Kami kemudian menuju tempat dimana mobil ambulan diparkir. Saat akan mengunci pintu, aku seperti melihat seseorang di dalam sana. Kutepiskan rasa takutku, mungkin saja aku salah lihat. Mobil ambulance berjalan perlahan meninggalkan Puskesmas Pembantu, dan tak sengaja aku melihat lagi bayangan itu di jendela kaca.

***

Pagi harinya, aku berangkat ke Puskesmas Pembantu(Pustu) di Desa B seorangdiri. Di sepanjang jalan, tak putus aku membaca doa-doa yang aku bisa. Sebelum masuk ke Pustu, aku menuju ke arah Balai Desa. Tadi sengaja berhenti di rumah salah seorang penduduk, menanyakan letak Balai Desa di sebelahmana.

Aku akan menemui Pak Kepala Desa, untuk melaporkan tentang kedatanganku di desa itu. Juga akan memberitahu, kalau sejak hari itu, aku yang akan berlama, di depan pintu masuk tertulis Balai Desa B. Suasanasepi, tak ada kendaraan yang teorang di sana. Aku melangkah menuju pintu masuk.

"Assalaamu'alaikum," kuucapkan salam.

Tak terdengar jawaban.

Aku masuk ke dalam dengan perlahan sambil mataku memandang sekeliling. Tak juga kutemukan ada orang di dalam.

"Assalaamu'alaikum," kembalikuucapkan salam. Kali ini agak keras, siapa tahu ada yangmendengar.

Tidak juga ada yang menjawab.

Aku berbalik arah menuju pintu ke luar. Kulihat jam di tanganku, waktu telah menunjukan pukul 08.00wib. Seharusnya pegawai sudah berada di tempat, dan siap untuk bertugas pada jam itu. Ketika sampai di luar Balai Desa, terlihat seorang bapak mengendarai sepedamasuk ke dalam halaman. Dia lalu turundan menaruh sepedanya di sebatang pohon sebagai sandaran.

"Assalaamu'alaikum, Pak." Aku mengucapkan salam ketika bapak itu telah berada di depanku.

"Wa'alaikum salam," jawabnya sambil tersenyum.

"Maaf, Neng. Ada keperluan apa?"

"Saya Nenden,Pak. Saya inginmenemui Pak Kades.Saya bidan yangditugaskan di desa ini," kataku menjelaskan.

"Oh ... Saya Rahmat,Neng. Saya petugaskebersihan di BalaiDesa ini. Pak Kades hanya tiap hari Senin saja Neng, datangke Balai Desa."

Aku bengong mendengar penuturan Pak Rahmat. Peraturan darimana datang ke tempat tugas hanya setiap hari Senin.

"Jadi kalauada yang mempunyai keperluan dengan Pak Kades bagaimana, Pak?" tanyaku.

"Datang saja ke rumah beliau, Neng. Gak jauh kok dari sini. Lurus saja ikuti jalan di depan sampaiketemu pertigaan, belok yang ke arah kiri, nah rumahPak Kades nomor tiga dari pertigaan."

"Jadi Balai Desa ini kosong, Pak?"

"Tidak, Neng. Setiap hari ada petugas yang datang, tapi ya itu, nanti jam sepuluh."

Lagi-lagi aku merasa heran.

"Kalau begitu, saya ke rumah Pak Kades sekarang, Pak. Aku pamit pada Pak Rahmat.

"Mangga, Neng."

***

Aku menyusuri jalan yang ditunjukan oleh Pak Rahmattadi. Desa ini betul-betul sepi, rumah penduduknya sangat jarang.Sekitar sepuluh menit, aku sampai di rumahPak Kades. Tak terlihatada orang. Aku mengetuk pintudengan mengucapkan salam.

Pintu terbuka,seorang lelaki setengahbaya berdiri di depanku, serayamenjawab salamku.

"Maaf, saya ingin bertemudengan Pak Kades,Pak. Saya Nenden,bidan yang ditugaskan di desa ini." Aku memperkenalkan diri.

"Oh ... Silakan masuk,saya Pak Anwar,Kades di sini." Kata lelaki itu yang ternyata adalah orang yang ingin kutemui.

Kemudian aku masuk dan duduk di ruang tamu, atau lebih mirip ruang kerja. Ada sebuah meja dengan laptop di atas nya, tumpukan buku-buku dan kertas.

"Ini Surat Tugas saya, Pak," kuserahkan map berisi Surat Tugas dari Bu Komalasari.


"Jadi rencananya Bu Nenden akan tinggal di Pustu atau dinas setiaphari saja?" Tanya Pak Kades setelah selesai membaca Surat Tugasku.

"Sementara saya pulang pergi saja dulu, Pak."

Setelah berbincang seperlunya, aku mohon pamit untuk kembali ke Pustu.

***

Sampai di Pustu, kubukasemua pintu dan jendela. Lalu meneruskan bersih-bersih yang belum sempat kujangkau kemaren. Cukup melelahkan, karena aku mengerjakan sendiri.

"Assalaamu'alaikum," terdengar suara orang mengucapkan salam, saat aku sedang beristirahat sejenak melepas lelah di ruang periksa.

"Wa'alaikum salam," jawabku sambil berdiri dan berjalan ke pintu depan.

Nampak seorangperempuan berdiri di depan pintu.Perutnya besar, sepertinya sedang hamil.

"Ada apa, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Aku bertanya pada perempuan itu.

"Saya mau periksa hamil, Bu." Dia menjawab.

"Oh ... Iya, mari silakan masuk."

Aku menyuruhnya naik ke bed gynecologi dan mulai melakukan pemeriksaan. Lalu memeriksa kandungannya. Dia sedang hamil dua puluh empat minggu.

"Sudah pernah periksa hamil sebelumnya?" tanyaku setelah selesai.

"Belum, Bu."

Kuambil Buku KIA (buku catatan untuk Ibu dan Anak) lalu kutulis identitasnya dan hasil pemeriksaanku.

Dia bernama Maharani, berusia dua puluh tujuh tahun. Suaminya bernama Ansori.

Setelah kuberikan obat dan memberitahu aturan minumnya, Bu Maharani pamit pulang.

***

Jam telah menunjukan pukul 15.00wib dan aku bersiap untuk pulang. Hari itu hanya ada satu orang pasien yang berkunjung ke Pustu, Bu Maharani. Mungkin warga sekitar belum mengetahui jika Pustu sudah mulai beroperasi lagi.

Aku menutup kembali semua pintu dan jendela sebelum pulang. Dan saat menutup jendela rumah dinas pegawai,aku baru ingat kalau kemarenmelihat ada bayangandi sana. Aku merinding lalu cepat-cepat ke luar dan menuju ke tempat sepeda motor terparkir.

Saat akan menjalankan sepeda motor, kulihat Bu Maharani sedang duduk di atas ayunan kayu yang terpasang di pohon nangka.

"Loh ... Bu, belum pulang?" tanyaku.

"Belum, Bu. Saya sedang menunggu suami."

"Ohh ... Saya pulang duluan ya, Bu."

Kujalankan perlahan sepeda motor meninggalkan Pustu. Baru beberapa meter, aku melihat ke kaca spion, tak lagi terlihat Bu Maharani duduk di ayunan kayu pohon nangka itu. Sedikit heran, kemana Bu Maharani tadi? Tapi aku tak ambil pusing, mungkin dia sudah pulang, pikirku.

Langit mulai gelap, seperti akan turun hujan. Aku mempercepat laju sepeda motor agar jangan sampai saat hujan turun, masih berada di desa ini. Pasti akan lebih sulit karena jalanan yang harus dilalui masih tanah merah.

***

Selama sepuluh hari, aku pulang pergi dari rumah ke Pustu. Jarak yang cukup jauh dan medan yang lumayan sulit, membuatku sangat kelelahan saat tiba di rumah. Berangkat pagi dan pulang sampai rumah terkadang sudah menjelang Maghrib, karena terjebak macet.

Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di perumahan pegawai Pustu. Kedua orang tua awalnya merasa keberatan, tapi setelah aku memberikan penjelasan, bahwa seorang bidan desa itu memang harus tinggal di wilayah kerja sesuai SK Pengangkatan, mereka akhirnya mengijinkan walaupun dengan berat hati.

***

Senin pagi aku berangkat, untuk selanjutnya akan tinggal di Pustu. Warga masyarakat Desa B sudah mengetahui, jika Pustu telah beroperasi kembali. Mereka bisa datang setiap hari kecualiMinggu, dari pukul 08.00wb - 15.00wib.

Aku memberitahu Pak Kades, jika mulai hari itu akan tinggal di Pustu. Beliau sangat berterima-kasih, karenawarga Desa B bisa terlayani setiap saat. Di Pustu aku tinggal bersama Ela, anak gadis Pak Kades yang baru lulus SMA.

***

"Bu, alhamdulillah, suami saya sudah sembuh, diberiobat dan disuntikoleh Bu Bidan kemaren Minggu," kata Bu Puji suatu siang.

Hari Minggu? Disuntik? Aku kan tiap Minggu libur dan pulang ke rumah orang tua. Lagipula aku tak pernah memberikan suntikan pada pasien selain pada pasien bersalin.

"Oh ... Iya. Alhamdulillah," jawabku sambil merasa bingung.

Kubaca buku kunjungan pasien, tak ada tertulis nama pasien pada hari Minggu.

"Sekarang saya mau suntik KB, Bu Bidan." Kata Bu Puji.

"Silakan naik ke atas bed, Bu."

Bu Puji kemudian membayar setelah selesai suntik KB. Aku menerima uang itu dan kumasukan di laci meja. Betapa aku terkejut, di laci itu ada sejumlah uang, padahal aku tak pernah menaruhnya.


Ada perasaan takut yang menyelinap di hati, siapa yang memberikan obat dan suntikan pada suami Bu Puji? Lalu uang yang ada di laci kepunyaan siapa?

***

Malamnya, aku tidur agak awal. Mungkinkarena lelah, hari itu pasienlumayan banyak. Ela tidur di sebelahku.

Entah sudah berapa lama aku tidur,tiba-tiba tanganku terasasakit, seperti ada yang mencubit.
Aku membuka mata dan kulihat Ela sedang menutup matanya menggunakan kedua tangan.

"Ela, ada apa?" tanyaku sambil menahan rasa sakit.

"Itu, Bu." Kata Ela berbisik sambil menunjuk ke arah pojok kamar.

Aku mengikuti arah telunjuk Ela. Dan ... Astaghfirullahaladziim ... Tak sadar aku berteriak. Kulihat di pojok kamar ada seorang anak kecil yang sedang jongkok sambil menelungkupkan kedua tangan di dengkulnya.

Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku tak berani untuk melihat lagi ke arah tembok. Kutarik selimut dan membaca doa-doa yang aku bisa. Tapi mulutku tak bisa terbuka, padahal aku merasa sudah sekuat tenaga bersuara.

***

Pagi harinya, kami bangun kesiangan. Kulihat jam di dinding telah menunjukan pukul 07.15wib. Untungnya aku sedang libur shalat. Aku tak tahu, semalam aku tertidur atau pingsan karena terlalu takut. Setelah mandi dan berpakaian rapih, kami sarapan. Lalu kami duduk di ruang depan.

"Siapa anak kecil yang kita lihat semalam, Ela?" Aku bertanya pada Ela, barangkali saja dia tahu.

"Lah ... Si Ibu, kalau saya tahu mah gak bakalanketakutan," jawabnya dengan logat daerah yang kental.

"Iya juga, kalau kamu tahu, pasti gak akan cubit saya dengan kuat," kataku sambil tertawa.

"Soalnya saya berulangkali berusahamembangunkan Ibu menggunakan kaki, Bu Bidan gak bangun juga."

Kami lalu tertawa bersama, seakan tak pernah mengalami kejadian menakutkan malam tadi.

***

Aku ingin menceritakan kejadian semalam pada Pak Kades, tapi aku khawatir, nanti Ela malah tak diperbolehkan lagi menemani di Pustu. Padahal dengan adanya Ela, pekerjaanku terbantu. Dia bisa mencatat di buku kunjungan pasien, sementara aku yang melayani dan melakukan pemeriksaan. Akhirnya kuurungan keinginan itu. Biarlah hanya kami berdua saja yang tahu kejadian semalam.

***

Tak terasa, tiga bulan sudah aku tinggal di Pustu bersamaEla. Warga mulai tahu dan mengenalku dengan baik. Setiap hari ada saja kunjungan pasien. Untuk kegiatan Posyandu, sengaja aku mengadakan di Pustu, dengan pertimbangan, jika ada yang membutuhkan pertolongan, aku ada di tempat.

Dari kegiatan Posyandu, aku bisa tahu berapa jumlah ibu hamil,bayi dan balita yang ada di wilayah kerjaku.Semua tercatat dengan rapih. Selesaikegiatan Posyandu, aku selalu memeriksa kembali catatan para kader untuk kemudian aku pindahkan ke Buku Laporan.

Selama tiga bulan Posyandu diadakan, tak pernah kulihat Bu Maharani datang berkunjung. Pernahaku menanyakan pada para kader tentang Bu Maharani, mereka malah terlihat bingung dan mengatakan bahwa di Desa B tak ada ibu hamil yang bernama Maharani.

Aku memeriksa kembali buku kunjungan Pustu,saat pertama kali Bu Maharanidatang untuk memeriksa kehamilannya. Tapi aneh, catatan itu tak kutemukan, padahal waktu itu aku mencatatsemua di buku kunjungan, aku ingat betul.

***

Hari itu, aku minta tolong Ela untuk berbelanja di pasar pagi, pasar yang hanya ada setiap hari Rabu, seminggu satu kali. Aku memintanya untuk berbelanja keperluan kami selama seminggu.

Sementara Ela berbelanja, aku mencuci di kamar mandi,karena masih pukul 06.00 WIB, masih cukup lama untuk memulai aktifitas di Pustu. Tiba-tiba ada yang menggedor pintu kamar mandi dengan begitu keras. Kran air yang sedang mengalir kumatikan, barangkali aku salah dengar.

"Ela, kamu sudah pulang?" Aku bertanya dari dalam dengan suara keras.

Tak ada jawaban. Cepat sekali Ela sudah pulang dari pasar,padahal biasanya membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk berbelanja, pikirku.

"Elaaa ... Apa kamu sudah pulang?" Aku mengulangi lagi memanggil Ela dengan suara yang lebih keras.

Tetap tak ada jawaban.

Aku kembali mencuci dan kuhidupkan kran air.

Belum begitu lama, pintu kamar mandi kembali digedor dengan sangat keras. Dengan sedikit jengkel, aku membuka pintu. Siapa sebetulnya yang ingin bermain denganku. Tapi tak ada siapa pun di depan pintukamar mandi, padahaltadi aku mendengar suara "gedoran" dengan sangat keras.

Aku menolehkan wajah ke arah kamarku. Di depan kamar ada sebuah lemari pakaian yang ada kacanya. Sengaja aku meletakan lemari itu di sana, karena di dalam kamar tidak cukup. Dan saat aku melihat lemari itu ... Ya Allah ... Aku melihat sesosok wujud (aku tak tahu itu makhluk apa) yang sangat menyeramkan. Yang kuingat dia berambut sangat panjang sedang menghadap kaca.

Spontan aku menjerit dan berlari ke luar dari kamar mandi ke arah halaman Pustu. Dengan nafas yang masih terengah-engah, aku membaca doa-doayang aku bisa. Aku tak berani masuk ke dalam sampai Ela pulang dari pasar pagi.

***

"Bu, kok belum gantibaju?" Ela bertanya dengan heran ketikapulang dan dilihatnya aku masih pakai baju tidur.

"Iya, nunggukamu," jawabku berbohong sambil membantu Ela membawakan belanjaan yang baru dibelinya.

***

Apa sebetulnya yang kulihat di kaca lemari tadi? Begitu menyeramkan, padahal aku hanya melihatsekilas. Apa aku harus bercerita pada Ela tentangapa yang kulihattadi? Bagaimana kalau dia malah merasa takut dan tak mau menemaniku lagi?

Akhirnya, aku tak menceritakan pada Ela tentang apa yang kulihat di kaca lemari. Setiap melewati dan membuka lemari itu, aku selalu merasa ada yang sedang berkaca di sana.

***

Sore itu, kami baru pulang dari menolong ibu melahirkan. Segera kami masuk ke dalam Pustu, karena sebentar lagi waktu Maghrib akan tiba. Bergegas aku menutup semua gorden, sementara Ela ke ruang Pustu untuk membersihkan alat-alat persalinan yang tadi digunakan.

Saat sedang menutup gorden jendela kamar, kulihat Bu Maharani sedang duduk di ayunan pohon nangka. Aku segera ke luar untuk menemuinya, mungkin tadi dia akan periksa hamil, tapi aku sedang tidak ada, jadi dia menunggu,pikirku. Tapi sampai di luar, takkulihat Bu Maharani. Aku masuk ke Pustu, bertanyapada Ela apa tadi melihatBu Maharani.

"Saya gak melihat siapa pun, Bu."

Aku diam. Kemana perginyaBu Maharani? Cepatsekali. Apa aku yang salah lihat? Entahlah.

***

Setiap hari Sabtu sore, biasanya aku pulang ke rumah orangtua dan baru kembali ke Pustu hari Senin pagi.Tapi hari itu aku tak bisa pulang,karena ada pasienmelahirkan. Hari Minggu pagi setelah mengujungi pasien yang baru melahirkan kemaren, aku dan Ela beres-beresPustu.

Kami merubah tata letak furnitur yang ada, agar ruangan terasa lebih luas dan lebih enak dilihat. Aku menemukan sebuah buku agenda dan botol kecil kosong di tumpukan buku-buku yang ada di lemari, ketika sedang kubereskan. Kubuka perlahan dan kubaca tulisan yang ada di buku itu. Hanya tentang cerita biasa sampai aku membaca tulisan yang berbunyi ...

"Aku takut sekali, apalagi aku sedang hamil. Beruntung Mbah Leman memberiku jimat, agar bayiku selamat."

Aku termenung, apa ini buku harianTeh Suli? Astaghfirullahaladziim ... Kalau memang itu tulisanTeh Suli, kenapaharus pakai jimatuntuk melindungi bayinya?

***

Hari itu ada Lokakarya Mini di Puskesmas Induk. Semua staf Puskesmas dan Bidan Pustu diharapkan hadir. Aku mengajak Ela ke sana,Pustu aku tutupsementara. Sampai di Puskesmas Induk, LokMin belum dimulai. Aku menyalami teman-teman yang sudah hadir.

Ada beberapa bidan dan staf seniorPustu yang belum pernah bertemu,karena memang baru kali ini aku datang ke Puskesmas Induk,semenjak bertugas, enam bulan yang lalu.

"Ini BidanNenden ya, yangmenggantikan Bidan Rani?Kenalkan, saya Bu Ratmi." Kata seorang Ibu paruh baya mengulurkan tangannya.

"Iya, Bu. Saya Nenden." Aku menyalami dan memeluk BidanRatmi, selama ini hanya namanya saja yang aku tahu,belum pernah bertemuorangnya.

Tapi kenapa beliau tadi menyebut Bidan Rani, bukankah aku menggantikan Bidan Suli?

"Bu, maaf.Bukankah yang bertugasdi Pustu Desa B itu Bidan Suli, tapi kenapa tadi ibu bilang Bidan Rani?" tanyaku penasaran.

"Ya sama saja, saya lebih suka memanggilnya Rani,bukan Suli. Karenamemang namanya Maharani Suli Setyaningsih." Bu Ratmi menjelaskan.
Aku melongo. Pandanganku tiba-tiba kabur dan semuanya gelap.

***

Llllllll

***

Hari itu aku baru tahu, kalauBidan Suli bernamalengkap Maharani Suli Setyaningsih. Dan saat mendengar cerita dari Bu Ratmi, aku betul-betul terkejut, kepalaku tiba-tiba pusing, mataku berkunang-kunang. Aku pingsan, Ela yang memberitahu, ketika aku sudah siuman. Dan Loka Karya Mini telah selesai,aku tak mengikutinya.

Teman-teman di Puskesmas Induk mengira aku kelelahan. Biarlah, tak kuberitahu sebabnya. Biar aku saja yang tahu, kalau Teh Suli sudah beberapa kali menemuiku, dengan nama Maharani, dan itu yang membuatku pingsan,karena aku tidak menyangka sebelumnya.

***

Kembali ke Pustu, Ela yang memboncengku dengan sepeda motor. Badanku masih terasa tak banyak bicara. Aku ingin segera sampai di Pustu dan beristirahat. Dan aku sudah mengambil keputusan, untuk tidak lagi tinggal di Pustu.

Aku tak mau menanggung resiko, jika tinggallebih lama di Pustu. Entahapa yang akan terjadi, jika aku tetap bertahan di sana. Aku tak ingin mengalami hal yang sama seperti Teh Suli. Walaupun aku tahu,kematian adalah sebuahtakdir yang tak bisa kita hindari, namun dengan tinggal di Pustu,itu sama artinyaaku menjemput mala petaka.

***

"Bu, sudah sampai," kata Ela mengangetkanku.

Rupanya tadi aku melamun, hingga tak terasa sudah sampai di depan Pustu.

Segera aku turun dari motor dan masuk ke dalam Pustu.

"Motornya langsungdimasukkan saja, Ela. Pustu kita tutup, saya ingin istirahat, badan rasanya lemas," kataku pada Ela.

Waktu baru menunjukkan pukul13.40 WIB, hari masih siang,jam buka Pustu masih lumayan lama sebetulnya. Tapi aku ingin istirahat, menenangkan pikiran.

"Iya, Bu," jawab Ela tanpa banyak tanya.

***

"Ela, kamu pernah dengar cerita tentang Bidan Suli?" tanyaku pada Ela.

Kami sedang duduk-duduk di ruang tamu, setelah selesai mandi. Pulang dari Puskesmas Induk, kami tadi langsung tidur, lelah dan mengantuk sekali rasanya, entah kenapa, tidak seperti biasanya.

Ela menatapku, seakan ada yang ingin dia sampaikan, tapi ada keraguandi sorot matanya.

"Adakah yang kamu ketahui tentang Bidan Suli?" tanyaku sekali lagi.

Ela menghela nafas dalam-dalam.

"Tahu secarapasti sih gak, Bu. Saya hanya suka mendengar ibu-ibukader bercerita tentang Bu Suli.
Mereka bilang, Bu Suli sering terlihat ke rumah Mbah Leman, entah untuk urusan apa."

"Mbah Leman itu siapa?"

Untuk memastikan, aku tanyakan pada Ela, padahalaku tahu, kalau Mbah Lemanitu seorang dukun, seperti yang tertulis dalam buku diary Teh Suli yang kutemukan beberapa hari lalu secara tak sengaja.

"Dia dukun,Bu. Kata orang-orang di desa sini,jangan sampai berurusandengan Mbah Leman, bisa bahaya. Kata mereka, Mbah Leman dukun aliran hitam."

Aku tertegun mendengar cerita Ela. Jika memang Mbah Leman dukun aliran hitam, itu

artinya, dia bukan orang yang baik. Lalu kenapa Teh Suli malah meminta tolong pada dukun itu? Tidakkah Teh Suli mengetahuinya? Bahkan yang kubacadalam diary Teh Suli, dia diberi jimat untuk melindungi bayi dalamkandungannya.

Astaghfirullahalladziim ... Kuucap kalimat istighfar berkali-kali.

Di jaman modern yang serba canggih,masih saja ada orang yang percaya kepada dukun.

"Lalu, adakah kamu mendengar tentang sebab kematian Bidan Suli?"

"Menurut ceritayang saya dengarsih, katanya Bu Suli gak bisa memenuhisyarat perjanjian, yang telah disepakati oleh Mbah Lemandan Bu Suli."

"Syarat perjanjian apa maksudnya?"

"Saya juga gak tahu, Bu. Saya hanya mendengar seperti itu."

"Apa lagi yang kamu dengar tentang Bidan Suli?"

"Saya hanyatahu seperti itu. Coba Bu Nenden tanyakanlangsung saja pada Pak Kades, biar jelas ceritanya."

Aku makin penasaran mendengar cerita Ela tentang Teh Suli. Apa sebetulnya penyebab kematiannya? Siapa Mbah Leman, selainsebagai seorang dukun,apa yang telah dia lakukan terhadap Teh Suli?

***

Malamnya, aku tak bisa tidur. Entah kenapa, ceritaEla tadi sore tentang Teh Suli, sangat mengganggu pikiranku. Aku begitu penasaran, apa sebetulnya penyebab kematian Teh Suli? Seperti ada yang tidak wajar dengan kematiannya. Tapi, tak ada orang yang tahu, bagaimana Teh Suli meninggalhari itu. Tiba-tiba, aku mendengar sesuatudi luar kamar tidur. Seperti suara orang memanggil namaku.

"Nenden ... Nenden ... " Terdengar sangat dekat, berat dan seperti memohon.

Kulihat jam di dinding,waktu telah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Ela tidurdengan nyenyak di sampingku.

Keringat dingin mulai membasahi wajah. Ketakutan yang sangat kurasakan. Jantung lebih cepat berdetak, bulu kuduk berdiri. Merinding tiba-tiba menyelimuti tubuhku.

Aku berusaha membangunkan Ela perlahan, tapi sia-sia, dia sangat lelap. Suara itu masih terdengar. Memanggil namaku. Suara siapa di tengah malam begini? Atau hanya pendengaranku saja?

Kutarik selimut sampai menutupi muka, sambil memasang telinga, adakah suara itu masih terdengar? Entah jam berapa aku tertidur, dengan rasa ketakutanyang sangat. Atau pingsan? Entahlah.


***

Pagi harinya, aku bercerita pada Ela, tentang apa yang kualami semalam. Ternyata, Ela juga beberapa kali mengalami hal yang sama. Hanya saja, Ela tak bercerita padaku, dengan alasan barangkali aku akan merasa takut dan tak mau lagi berdinas di Pustu. Aku melongomendengar cerita Ela. Aku bilang,aku juga khawatirjika bercerita padanya, dia akan merasa takut dan tak mau lagi menemaniku. Kami tertawa bersama. Merasa lucu, tapi tak tahu apa hal yang kami tertawakan.

"Ela, saya tidak akan menginap lagi di sini setelah ini. Saya akan pulang pergi saja seperti dulu," kataku.

Ela diam, mungkin dia bisa memaklumi keputusanku.

"Tapi kamu tetap.menemani saya selama saya berdinas di Pustu, ya. Kamu tetap datang pagi setiap hari dan pulang bareng saya."

"Iya, Bu. Saya akan selalu menemani Bu Nenden."

Aku tersenyum.

"Terima-kasih, Ela."

Selama enam bulan ditemani Ela, aku sudah menganggapnya seperti adik kandungku sendiri. Aku tak tahu, jika tak ada Ela, mungkin takkan pernah aku tinggal di Pustu.


"Nanti setelah dinas, saya akan menemui Pak Kades. Selain akan memberitahu, kalau saya mulai besok tidak lagi tinggal di Pustu, juga ingin menanyakan tentang Bidan Suli dan Mbah Leman," kataku.


"Iya, Bu. Jadi semua baju-baju saya dibawa pulang sekalian ya?"


"Terserah kamu saja. Mau dibawa sekalian hari ini atau besok-besok."


"Saya bawa sebagian saja hari ini, biar besok gak terlalu banyak lagi."


Ela kemudian membereskan pakaianyang akan dibawapulang hari ini. Aku membuka Pustu, karena jam telah menunjukkan pukul 08.00 WIB.


Hari itu Pustu sepi, tak banyakorang yang berkunjung. Iseng, aku membuka-buka buku harian Teh Suli. Aku mengulangi membaca dari awal, apa yang ditulis di buku itu.
Mataku membaca tulisan "botol itu kutaruh di lemari" Apa maksud tulisan itu? Lemari yang mana? Ada beberapa lemari di Pustu.


Botol kecil yang dimaksud dalam tulisan Teh Suli, apakah yang kutemukan di lemari buku bersama dengan agenda ini? Aku menuju lemari dan kuambil botol itu. Kuamati, tak ada yang aneh, hanya sebuah botol berisi benda yang mirip dengan rambut atau sapu ijuk. Kubuka botol itu, benda yang ada di dalamnyaaku ambil. Sepertinya ini sehelai rambut. Rambut siapa dan apa gunanya?


"Assalaamu'alaikum ... " terdengar suara salam dari luar. Mungkin pasien, pikirku.


"Wa'alaikum salam ... "


Aku menuju ke pintu.Ada seorang laki-lakisedang berdiri di sana. Selamaaku berdinas di Pustu, baru sekali ini aku melihatnya.


"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku.


Dia menatapku tajam.


"Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sekali lagi, sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.


"Oh ... Eh ... Iya Bu Suli," katanya.


Aku mengernyitkan dahi. Bu Suli? Apakah aku salah dengar?


"Bapak kenal dengan Bu Suli?" tanyaku penasaran.

"Eh ... Gak. Maaf, saya mau berobat, Bu." jawabnya gugup.


Ganti aku yang menatapnya. Dia terlihat salah tingkah.


"Mari Pak, silakan masuk."


Laki-laki itu masuk dan duduk di kursi ruang periksa.


Aku membuka buku RegisterKunjungan Pasien. Kuletakkan botol kecil yang sedang kuamati tadi di atas meja.


"Namanya siapa, Pak?" tanyaku.


"Saya Ratno, Bu," jawab laki-laki itu.


Matanya menatap botol kecil yang kuletakkan di atas meja, tak berkedip.


"Bapak sakit apa?"


"Sudah dua hari kepala saya sakit sekali."


Aku memperhatikan, matanya tetap melihat ke arah botol itu, tanpa berkedip.

"Sebelumnya, apa pernah bapak berobat ke sini?"


"Belum pernah, Bu."


Aku yakin dia berbohong. Jika belum pernah,darimana dia tahu nama Teh Suli? Tapi akutak menanyakan lebih lanjut. Nanti saja, akan kutanyakan pada Ela, siapa laki-laki yang bernama Ratno ini.


Lalu, aku menyuruhnya untuk naik ke atas bed gynecologi. Aku mengukur tensinya, agak tinggi, untuk laki-lakiseumur dia, pantassaja kalau dia merasa pusing.Aku memberikan obat dan memberitahu aturan minumnya, makanan apa saja yang harus dihindari dan apa saja yang sebaiknya dia lakukan.


Ratno pamit setelah selesai berobat. Aku jadi makin penasaran dengan kematian Teh Suli. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi apa? Tak ada petunjuk yang bisa mengungkap ke arah sana.


Selama tadi Ratno duduk, matanya tak berkedip, selalu melihat ke arah botol itu. Pasti ada sesuatu dengan botol itu. Tapi apa?


"Ela, kamu kenal dengan orang bernama Ratno?" tanyaku pada Ela.


Dia sudah selesai membereskan bajunya yang akan dibawa pulang nanti.


"Kenal sih, gak. Tapi tahu."


"Kenapa memangnya, Bu?"


Aku lalu bercerita pada Ela tentangkejadian barusan, saat Ratno memanggilku demgan sebutan Bu Suli.


"Aneh sih. Coba nanti waktu Bu Nenden tanya ke Pak Kades, sekalianaja cerita tentang Ratno, mungkin Pak Kades juga tahu."


"Iya deh, nanti saya akan cerita juga tentang Ratno pada Pak Kades."


***


Pukul 15.00 WIB aku dan Ela berangkat ke rumah Pak Kades. Aku meminta Ela untuk memboncengku.

Di sepanjang jalan, rasa penasaran soal kematian Teh Suli semakinmenjadi. Aku ingin sekali mengetahui sebab kematiannya. Ditambah dengan kedatangan Ratno, yang memanggilku Teh Suli.


Aku meminta Ela untuk mempercepat laju sepeda motor, agar cepat sampai dan aku bisa segeramendengar cerita dari Pak Kades,tentang Teh Suli dan Mbah Leman. Juga laki-laki yang bernama Ratno.

***


Setengah jam kemudian, kami sampai di rumah Pak Kades. Ela segera memarkir motor dan langsung masuk ke dalam rumahnya,sambil mengucapkan salam. Seperti biasanya, rumah Pak Kades nampaksepi, tak ada orang di luar.


"Silakan masukdan duduk, Bu. Saya ke belakang dulu,ya. Cari Pak Kades," katanya mempersilakan.


Aku mengangguk. Kemudian masuk ke dalam rumah Pak Kades dan duduk di kursi yang ada di ruang tamu. Tak lama, Pak Kades ke luar dari dalam.


"Apa kabar, Bu Nenden? Tumben main ke rumah?" kata Pak Kades sambil tersenyum.


"Alhamdulillah baik, Pak. Iya, ada yang ingin saya tanyakan pada bapak," jawabku.


"Soal apa itu?"


Aku kemudian menceritakan semua kejadian yang kualami selama tinggal di Pustu. Pak Kades tidak nampak terkejut mendengar ceritaku. Mungkin Ela sudah bercerita. Atau barangkali beliau memang sudah tahu, jika di Pustu ada sesuatunya.


"Jadi setelah saya pikirkan, saya bermaksud untuk tidak tinggal di Pustu lagi. Saya akan datang setiap pagi dan pulang pada sore hari."

Kali ini aku malah melihat Pak Kades terkejut mendengar perkataanku. Ingin tersenyum, tapi kutahan, tidak sopan sepertinya.


"Apa tidak bisa ditunda lagi, Bu?"


"Maaf, Pak. Saya tak mau mengambilresiko. Saya khawatirakan terjadi hal-halyang tidak saya inginkan, jika saya tinggal lebih lama lagi di Pustu," panjang lebar aku memberi alasan untuk tidak tinggal di Pustu lagi.


"Sangat disayangkan. Padahal tadinya, saya dan masyarakat desa sini berharap, Bu Bidan bisa kerasan tinggaldi Pustu. Kami sangat terbantudengan adànya Bu Bidan di sana.Masyarakat bisa dilayanikapan saja, saat membutuhkan pertolongan."


"Iya, Pak. Maafkan saya telah mengecewakan bapak dan masyarakat desa ini."


"Tidak perlu minta maaf, Bu. Saya mengerti dan memahami keputusan ibu."


"Alhamdulillah, terima-kasih, Pak."


Lega rasanya telah mengutarakan keinginanku untuk tidak lagi tinggal di Pustu.


"Lalu, apa yang ingin Bu Bidan tanyakan?"


"Saya ingin mendengar langsung dari Pak Kades, tentang kematian Bidan Suli. Adakah yang bapak ketahui?"


Aku berkata langsung ke pokok masalah.Tak perlu bertele-tele, pikirku. Pak Kades menarik nafas dalam-dalam. Sepertiada yang terasaberat untuk dikatakan.


"Saya tidak tahu pastipenyebab kematian Bu Suli. Hanya saja, saya sering melihat,Bu Suli mengunjungi Mbah Leman.


Padahal, masyarakat desa sini tahu, kalau Mbah Leman itu seorang dukun yang menganut aliran ilmu hitam. Gak ada yang berani berhubungan dengan Mbah Leman. Saya juga merasa heran, kenapa Bu Suli kok malah dekat dengan Mbah Leman. Sudah menjadi rahasia umum, kalauMbah Leman itu bukan orang yang baik."


Pak Kades menjelaskan dengan panjang lebar.


"Saya dengardari cerita orang, yang mengatakan bahwa kematian Bu Suli karena gak bisa memenuhi syarat perjanjian denganMbah Leman. Syaratperjanjian yang seperti apa ya, Pak?"


"Saya tidak tahu dengan pasti, Bu. Mungkin itu hanya perkiraan orang-orang saja. Karena biasanya, orang yang minta tolong pada Mbah Leman, akan dimintai sesuatu sebagai imbalannya."


"Oh ... Begitu ya, Pak? Mbah Leman itu asli penduduk desa sini?"

"Bukan, Bu. Dia pendatang dari pulau sebrang.Awalnya saya tidak tahu, kalau dia itu seorang dukun ilmu hitam. Kalau saya tahu sejak awal, pasti sudah mengambil tindakan."


"Kenapa tidak sekarang saja, Pak. Mengambil tindakan tegas pada Mbah Leman?"


"Dengan alasan apa?"


"Kematian Bu Suli."


"Saya tidak punya bukti,kalau kematian Bu Suli ada hubungannya denganMbah Leman. Saya hanya sering melihat,Bu Suli mengunjungi Mbah Leman,tanpa mengetahui, untuk urusan apa beliau ke sana."


Aku terdiam. Iya juga, menuduh tanpa bukti, nanti malah jadi fitnah. Aku semakin merasa penasaran, ingin mencari tahu tentang kematianTeh Suli. Entah kenapa, aku merasa yakin, pasti bisa mengungkapnya.


Ela datang dari dalam rumah, membawa air minum dan sepiring singkong goreng. Dia kemudian duduk di sampingku.


"Silakan diminum dan dicicipi, Bu.'" katanya.


"Terima-kasih, Ela," jawabku sambil tersenyum.

"Sudah ditanyakan tentang Bu Suli pada Pak Kades, Bu?"


"Pak Kades juga tidak tahu pasti."


"Kalau Ratno itu siapa ya, Pak?" tanyaku.


"Ada apa dengan Ratno?"


Aku menceritakan kejadian tadi siang, saat Ratno memanggilku dengan sebutan Bu Suli, lalu dia menatap botol kecilyang kutaruh dibatasmeja tanpa berkedip.


"Ratno tinggaldi ujung desa, sendiri. Masih bujang, orang tuanya sudah meninggal dan dia tak punya sanak saudara."


"Apa Pak Kades mengenalnya? Maksud saya, apa bapak tahu tentang Ratno dan apa yang dia lakukan sehari-hari?"


Pak Kades tertawa mendengar pertanyaanku. Aku bingung,tak tahu apa yang lucu sehingga harus ditertawakan.


"Tentu saja saya tahu siapa Ratno,saya juga tahu semua warga di desa sini. Sebagai Kepala Desa, sudah seharusnya saya tahu semua warga desa saya," kata Pak Kades menjelaskan.

Sekarang aku yang tersenyumdengan perasaan malu.Pertanyaan yang bodohmemang. Barangkali aku terlalu antusias ingin segera mengetahui sebab kematian Teh Suli, sampai lupa, kalau yang sedang kuajak berbicara adalah Pak Kades, penanggungjawab wilayah desa. Yang sudah pastimengetahui setiap warganya.


"Ratno pemudayang sangat pendiam,tak pernah banyakbicara. Ela saja mungkin tak pernah diajaknya bicara. Dia seorang pemuda yang rajin. Dulu, waktu orang tuanya masih hidup, dia sering membantu menjemur gabah di sini. Tapi sejak orang tuanya meninggal, dia tak pernahlagi datang ke sini."


"Saya akan ke rumah Ratno sekarang.Mumpung belum terlalusore. Saya ijin membawa Ela untuk menemani ya, Pak?"


"Oh ... Iya silakan. Semoga bisa mendapatkan informasi yang diinginkan."


Aku pun pamit pada Pak Kades.Dengan berboncengan sepedamotor, aku dan Ela menuju ke rumah Ratno.


***


Cukup jauh juga ternyatarumah Ratno. Sepanjangjalan yang kulalui,hanya berupa kebun dan sawah.


"Masih jauh gak rumahnya?" tanyaku pada Ela.

"Bentar lagi, Bu. Setelah pertigaan ini."


Akhirnya sampai juga kami di rumah Ratno. Kami segera turun dari motor. Rumah mungil yang sederhana, tapi terlihat bersih dan asri.


Di depan dan samping rumah ditumbuhi sayuran. Kulihat ada cabai, tomat, bayam, terong, juga ada tanamankunyit dan sereh.Benar kata Pak Kades, Ratnoorang yang rajin. Sepi, tak nampak ada orang.


"Assalaamu'alaikum ... " kami mengucapkan salam bersamaan.


Tak ada jawaban. Kami ulangi lagi mengucapkan salam. Kali ini dengan mengetuk pintu rumahnya. Tetap tak ada jawaban.


"Kita tunggu sebentar ya, Ela."


Ela mengangguk.


Kami duduk di bangku yang ada di depan rumah Ratno. Sejuk sekaliudara di sini.Tapi jika malam hari, pasti seram. Aku membayangkan tinggal sendiri di tempat seperti ini, tak ada tetangga.


Sekitar sepuluhmenit, Ratno munculdari arah kebun,dengan membawa keranjang. Dia nampak terkejut dengan kedatangan kami.

"Maaf, saya barusan metik buah di kebun," katanya sambil tersenyum yang dipaksakan.


Dia meletakkan keranjang yang dibawanya. Kulihatada mangga, pepayadan nanas. Lalu, dia membuka pintu rumahnya.


"Silakan masuk,Bu. Teh Ela.Silakan duduk. Sebentar, saya ganti bajudulu," kata Ratno mempersilakan.


Dia lalu pergi ke belakang. Kami pun masuk dan duduk di kursi yang ada di ruanganitu. Sama seperti yang terlihat di luar, di dalam ruangan ini pun terluhat sangat bersih dan rapih.


Tak berapa lama Ratno ke luar dengan membawadua gelas air putih. Dia sudah berganti pakaian.


"Silakan diminum. Maaf, hanya ada air putih."


Aku dan Ela minum sedikit, sekedar untuk menghormati pemberian Ratno.


"Ada kepentingan apa ya, Bu Bidan sama Teh Ela datang ke rumah saya?" tanya Ratno.


Baguslah, pikirku.Dia sudah bertanyalebih dulu. Aku tak perlu lagi berbasa-basi untuk memulai obrolan.

"Begini, ada beberapa hal yang inginsaya tanyakan. Sayaberharap Pak Ratnomau menjawab pertanyaan saya denganjujur."


"Soal apa?" Dia nampak bingung.


"Tentang Bu Suli. Sayayakin, Pak Ratnomengetahui sesuatu yangberkaitan dengan beliau," kataku.


Kutatap tajam matanya. Dia nampak gelisah. Ratno terdiam beberapa saat.


"Saya tidak tahu apa-apa, Bu," jawabnya gugup.


"Saya tahuPak Ratno sedangberbohong. Ayolah, Pak. Tolong ceritakan pada saya, apa yangbapak ketahui tentangBu Suli," aku memaksanya.


Dia memandangku, seolah memohon agar tidak bertanya lebih lanjut. Tapi aku tak peduli. Aku harus mendapatkan informasi tentang Teh Suli hari ini. Aku tak mau pulang dengan tangan kosong. Dari mata dan caranya berbicara, aku tahu Ratno memang mengetahui sesuatu.
Atau mungkin ada yang mengancamnya? Sehingga dia tak berani untuk bercerita?


***













***


Lama aku menunggu Ratno berbicara. Ingin sekali rasanya kupaksa dia agar segera membuka mulut,menceritakan apa sebenarnya yang dia sembunyikan tentang Teh Suli. Berulangkali Ratno menarik nafaspanjang, tapi tidakjuga keluar kalimatdari mulutnya.


Benar-benar menjengkelkan, membuat aku jadi sedikit emosi. Kalau saja aku tidak punya rasa penasaran, sudah kutinggalkan rumah ini dari tadi, pulangdan tidur, selesai.


"Ayo dong, Pak. Ceritakanpada saya, apa yang Bapak ketahui dan sembunyikan tentang Teh Suli. Saya yakinPak Ratno mengetahui dan menyembunyikan sesuatu," kataku agak memohon.


"Saya janji, tidak akan bercerita pada siapa pun."


Ratno memandangku, seakan tak percayajika aku bisa menyimpan rahasia.Matanya melihat sekeliling, seolahtakut ada yang akan mendengar atau melihat kami.


"Sebaiknya Bu Bidan dan Teh Ela pulang saja, sebentar lagi malam. Saya tidak mengetahui apa-apa tentangBu Suli," akhirnyaRatno berkata.

Kalimat yang sungguh tak ingin kudengar. Aku melihat jam di dinding, baru pukul 16.00 WIB, masih ada banyak waktu untuk mendengarkan cerita dari Ratno.


"Saya tidakakan pulang sebelumPak Ratno mengatakan pada saya, apa yang Bapak ketahui tentang Bu Suli. Jika perlu, saya akan menginap di sini, sampai Bapak mau bercerita," kataku.


Dalam hati aku tertawa dengan kalimat yang baru saja kuucapkan. [ Mana mungkin aku akan senekat itu. Tapi demi membuka mulut Ratno agar mau bercerita, biarlah aku sedikit bermain sandiwara. Kulihat Ratno dan Ela terkejut mendengar perkataanku. Ela bahkan sampai melotot, mungkin dia merasa heran.


"Baiklah kalau begitu. Saya akan mengatakan apa yang saya ketahui tentang Bu Suli."


Aku sangat antusias mendengar ucapan Ratno. [Akhirnya dia mau juga bercerita. Kenapa tidak dari tadi? Jadi aku tak perlu bersandiwara]


"Tapi, Bu Bidan janji ya. Tidak akan menceritakan apa yang saya katakan kepadasiapa pun?"


Sebal sekaliaku rasanya mendengar pertanyaan Ratno. Terlalubertele-tele. Tinggal cerita saja, kan sudah.Selesai. Aku bisa segera pulang.


"Iya, saya janji."

Aku menjawab dengan sebal. Waktu sudah banyak terbuang, tapi aku belum juga mendapat informasi tentang Teh Suli.


Tiba-tiba Ratno berdiri dan berjalan ke arah pintu.Lalu, dia melihatsekeliling. Aku sangat heran dan semakinpenasaran. Pasti dia merasa khawatir,akan ada yang mendengar ceritanya.


Dua menit kemudian, Ratno kembali duduk. Mungkin dia merasa sudah aman untuk bercerita.


"Sebenarnya, sayamengetahui tentang kematian Bu Suli. Sayasedang berada di Puskesmas waktu itu. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, menjelang meninggalnya beliau."


Ratno diam sejenak. Dia menarik nafas dalam-dalam.


Aku melotot mendengar apa yang Ratno katakan barusan.Benarkah aku tidak salah dengar? Kulihat Ela, dia juga terlihat sangatterkejut, sama sepertiaku.


"Bapak serius? Bapak gak sedang bercanda kan?" Aku memastikan.


"Iya, Bu. Saya mengatakan yang sebenarnya."


"Jadi, Bu Suli meninggal karena apa?" tanyaku tak sabar.

Lagi-lagi Ratno terdiam. Matanya kembali melihat ke arah depan, nampak kekhawatiran di wajahnya. Aku semakin penasaran.


"Ada orang yang membunuhnya, Bu."


Hampir saja aku melompat, karena sangat terkejut mendengar kata-kata Ratno. Aku tercekat. Tiba-tiba aku merinding. Merasa takut berada di depan Ratno. Jantungku berdetak lebih cepat. Pikiran burukku bermain di kepala. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Bersikap wajar. Agar tak terlihat oleh Ratno.


"Siapa yang telah membunuh Bu Suli?"


Mataku tak berkedip, mengawasi setiap gerak-gerik Ratno. Aku sudah bersiap, jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Ratno menatapku tajam. Aku bergidik dibuatnya. Lalu, pura-pura memundurkan kursi, agar jarak tidak terlalu dekat dengan Ratno.


Kuraih tangan Ela. Aku memberi isyarat padanya, agar mengikuti apa yang kulakukan, memundurkan kursi. Ratno berdiri. Jantungku semakin cepat berdetak. Dalam hati aku membaca doa-doa, mohon perlindungan pada Allah. Dia kemudian masuk ke dalam, meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Aku semakin merasa takut.


"Ela, tetap waspada, ya. Jangan sampai lengah. Awasi terus setiapgerak-geriknya," aku berbisik pada Ela.

Ela menganggukkan kepalanya. Selang beberapa lama, Ratno muncul dari dalam. Dia membawa sebuahHP. Tentu saja aku merasaheran. Dia kembaliduduk dan meletakan HP itu di atas meja.


"Waktu itu, saya akan berobat ke Puskesmas. Di tengah jalan tiba-tiba hujan deras. Saya berteduh di sebatang pohon besar, menunggu hujan reda. Tapi sampai lama, hujan tak juga reda. Akhirnya, saya menggunakan daun pisang sebagai payung dan melanjutkan perjalanan ke Puskesmas."


Ratno berhenti sejenak, mengambil nafas dalam-dalam.


"Sampai di Puskesmas, ternyata pintunya tertutup. Hujan semakin deras. Saya bermaksud berteduh, sampai hujan agak reda. Tiba-tiba saya mendengar suara keributan dari dalam Puskesmas, tak begitu jelas,karena suara hujan.Saya mencoba mengintip dari jendela kaca depan, tapi tak terlihatkarena tertutup hordeng."


Kembali Ratno berhenti. Memandangku dan Ela bergantian. Aku merasa sangattegang. Semakin penasaran mendengar kelanjutan cerita Ratno.


"Lalu, saya ke arah belakang Puskesmas. Mengintip dari kaca jendela yang terbuka sedikit. Saya melihat Bu Suli sedang bersitegang dengan seseorang. Reflek saya mengambil HP dan merekam pertengkaran mereka melalui video."


"Jadi, Bu Suli dibunuh oleh orang itu? Siapa orangnya?" Aku bertanya dengantidak sabar.


"Iya. Saya baru tahu kalau Bu Suli meninggal pada keesokan harinya. Karena waktu saya merekam video, hanya sampai Bu Suli terjatuh. Saya buru-buru pulang, takut ketahuan."


"Kenapa Pak Ratno gak melaporkan kejadianitu? Bahkan sampaisekarang gak ada yang tahu sebab kematian Bu Suli."


"Saya takut, Bu."


"Takut pada siapa? Pada orang yang telah membunuh Bu Suli? Siapa dia?"


"Silakan Bu Bidan memutardan melihat sendirivideo rekaman saya. Tapi jangandi sini, di rumahPak Kades atau di rumahBu Bidan."


Aku dan Ela saling berpandangan.


"Maaf, Bu. Teh Ela, saya bukan mengusir, tapi segeralah pulang.Saya tidak ingin terjadi apa-apa dengan kalian di rumah saya."


"Jadi HP ini saya bawa?" tanyaku meyakinkan.


Ratno mengangguk. Tak paham denganapa yang dikatakanoleh Ratno barusan,aku segera berdiri dan pamit pulang.
Ratno mengantar kami sampai pintu depan.


Di sepanjang jalan, aku meminta Eka untuk mempercepat laju sepeda motor. Aku ingin

segera sampai di rumah Pak Kades dan melihat video rekaman itu. Namun, tiba-tiba hujan mulai turun. Aku melihat jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 17.20 WIB.


Akhirnya aku tak jadi singgah di rumah Pak Kades, khawatirhujan semakin deras dan aku tak bisa pulang. Sesampainya di rumah Pak Kades, aku langsung pamit pulang pada Ela. Kuberitahu dia, agar jangan dulu bercerita pada siapa pun tentang video rekaman itu.


Setelah Ela masuk ke dalam rumahnya, aku segera menjalankan sepeda motor dengan kecepatan lebih. Aku ingin segera sampai di rumah dan melihat rekaman video penyebab kematian Teh Suli.


***


Di sepanjang jalan, aku membaca doa-doa yang aku bisa. Hujan mulai deras, aku mempercepat laju sepeda motor.Agar bisa segera sampai di rumah. Di ujung jalan desa, aku berhenti. Mengambil HP milik Ratno dari dalam tas, membungkusnya dengan plastik sampul buku, agar tidak basah dan rusak.


HP itu satu-satunya barang bukti, yang akan mengungkap tentang kematian Teh Suli. Aku harusmenjaganya dari kerusakkan karena terkena air hujan. Hujansemakin deras. Maghrib hampirtiba. Bajuku basah kuyup. Sedang jarak rumahmasih lumayan jauh.
Aku berusaha mencari tempat untuk berteduh.


Aku berteduh di depansebuah toko yang sudah tutup.Ada beberapa orangjuga yang berteduh di situ. Hujan masih cukup deras, aku tak beranimengambil resiko, dengan melanjutkan perjalanan. Kupandangi sekeliling. Tiba-tiba mataku membaca tulisan Polsek Cxxxcxxk di sebelah kanan toko. Jaraknya sekitar 200 meter.


Aku berubah pikiran, yang awalnya akan membuka videorekaman Ratno di rumah, sekarang malah ingin langsung saja aku melaporkan kasusnya ke KantorPolisi.
Bismillah, kustarter motor dan menuju ke Polsek. Tak kuhiraukan, orang-orang yang berteduh denganku, memandang dengan tatapan aneh.


Sampai di Polsek, aku melapor kepada polisi yang bertugas jaga dan mohon ijin untuk berganti pakaian terlebih dahulu. Aku memang selalu membawa baju ganti, yang ditaruh di dalam bagasi motor. Adzan Maghrib berkumandang. Setelah berganti pakaian, aku shalat di Mushala yang ada di Polsek.


Aku menelpon ibu, mengatakan bahwa akan pulang terlambat karena hujan. Selesai shalat, aku menemui kembalipolisi yang jaga. Mengutarakan maksudkedatanganku. Pak Polisi itu mengantarkan aku ke sebuah ruangan. Di sana ada seorang Polisijuga. Aku dipersilakan masuk dan duduk.


Kubaca papan nama di baju seragamnya. Hanifudin. Pak Hanif menanyakan maksudku datang ke Kantor Polisi. Kuambil HP milik Ratno dari dalam tas. Kemudian menyerahkannya kepada Pak Hanif.


"Ini HP milik seorang saksi pembunuhan. Dia merekam melalui video, saat peristiwa itu terjadi," kataku menjelaskan.


Pak Hanif menerima HP milik Ratno. Beliau menyalakan HP itu dan berusaha mencari rekaman video yang dimaksud. Dengan perasaan tegang aku menunggu.


"Maaf, Mba ini ada hubungan apa dengan pemilikHP, dan orang yang ada dalam video?" tanya Pak Hanif.


"Saya Nenden, Pak. Saya bidan yang bertugas di Pustu, dimana bidan sebelum saya dibunuh. Dan pemilik HP ini bernamaRatno, dia warga desa di tempat saya bertugas," jawabku menjelaskan.


Video diputar. Aku melihat dengan seksama. Nampak dalam video itu, seorang perempuan dan laki-laki yang sedang bersitegang. Suaranya tak begitujelas terdengar.


Perempuan itu mirip Maharani, pasien misteriusku. Itukah Teh Suli? Laki-laki itu siapa? Apakah dia yang dipanggil dengan sebutan Mbah Leman? Ternyatajauh dari perkiraan. Aku mengira, Mbah Lemanitu sudah tua, berumur sekitar60 tahunan atau bahkan lebih.


Sedangkan laki-lakidalam video itu belum terlalutua, mungkin seumurdengan Ratno. Si laki-laki menunjuk-nunjukkan sebuah botolkecil ke arah muka si perempuan. Apakahitu botol kecil yang aku temukandi lemari Pustu, bersama dengan buku harianTeh Suli?


Pak Hanif berusaha menambah volume suara, sama seperti aku, beliau juga mungkin agak kurang jelas mendengar percakapan dalam video itu. Tapi tetap saja tidak begitu jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Suara hujan yang lebih dominan, mungkin karena direkam dari luar ruangan Pustu.


Setelah beberapa lama mereka bersitegang, tiba-tiba si laki-laki mendekati si

perempuan. Dan dia mencekikleher si perempuan. Si perempuan berusahamelepaskan cekikan itu dengan meronta-ronta. Tapi tak berhasil, tak berapa lama, si perempuan nampak lemas dan terjatuh di lantai.


Tak ada lagi kelanjutan rekaman video itu. Seperti kata Ratno, dia langsung buru-buru pulang karena takut ketahuan.


"Mba Nendenkenal dengan orang-orang yang ada dalam video tadi?" tanya Pak Hanif setelah mematikan HP milik Ratno.


"Tidak, Pak."


"Darimana Mba tahu, kalauorang-orang dalam video itu adalahkorban dan pelaku pembunuhan?"


"Dari Ratno, Pak. Dia pemilik HP ini."


"Baiklah kalau begitu. Kasus ini akan saya pelajari dulu. Silakan Mba tinggalkan fotocopi KTP dan nomor HP, agar sewaktu-waktu jika diperlukan, akan kami hubungi."


"Baik, Pak."


Aku mencari fotocopi KTP di dalam tas, barangkali ada yang tersisa. Lalu, menuliskan nomor HPku di selembar kertas yang diberikan oleh Pak Hanif.

"Mba berani pulang sendiri?" tanya Pak Hanif, setelah beliau melihat KTPku.


Rumahku memang masih lumayan jauh dari Polsek Cxxxxxk. Hujan masih turun. Kulihat jam di tanganku. Waktu telah menunjukkan pukul 19.40 WIB.


"Nanti biar diantar saja pulangnya."


Mungkin Pak Hanif melihat keraguan di wajahku.


"Tapi saya bawa motor, Pak."


"Ditinggal saja dulu di Polsek. Besok silakan diambil. Dijamin aman," kata Pak Hanif sambil tertawa.


"Baiklah, Pak," jawabku sambil tersenyum malu.


Pak Hanif kemudian ke luar ruangan,menuju ke arah depan Polsek.Tak lama, beliau kembali dengan seorang polisi yang lebih muda dari beliau.


"Mba nanti diantar oleh Bang Herman, ya."


"Oh ... Iya, Pak. Terima-kasih. Maaf jadi merepotkan."

***

Sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu sudah menunggu. Mereka sedang duduk di teras depan rumah. Dan betapaterkejutnya nereka, melihataku diantar denganmobil polisi. Setelah kujelaskan, barulah mereka merasa lega.


Bang Herman langsung berpamitan, begitu selesai mengantarku sampai rumah. Aku langsung masuk kamar dan mandi. Badanku lengket sekali. Kemudian berganti pakaian dan menuju meja makan. Lapar sekali rasamya.


***


Sudah jam 22.00 WIB, tapi mataku tak bisa terpejam. Ingin menelpon Ela, tapi sudah malam, dia pasti sudah tidur, seperti biasanya. Kupandangi langit-lngit kamar. Teringat akan video yang tadi kulihat. Benarkah itu Teh Suli dan Mbah Leman? Apa sebetulnya yang mereka bicarakan, sampai Mbah Leman mencekik Teh Suli?


Apakah Teh Suli langsungmeninggal saat itu? Atau ada orang lain selain Mbah Leman? Bukankah dalam video tak terlihat, saat Teh Suli meninggal? Hanya terlihat ketika Teh Suli dicekik dan jatuh.


Semoga saja pihak kepolisian bisa segera mengungkap kasus ini. Aku penasaran, seperti ada yang janggal dalam video itu. Tapi apa? Aku tak bisa berpikir lagi. Mataku sudah mulai mengantuk dan akhirnya aku tertidur.


***



Keesokan harinya, aku diantar ayah ke Polsek, mengambil motor lalu berangkat ke Pustu. Jalananke arah Pustumasih becek, bekas hujan kemarin.Aku mengendarai sepeda motor dengan sangat hati-hati.


Sesampainya di Pustu, Ela sudah datang. Pustu belum dibuka, aku lupa menitipkan kunci kemarinsore padanya. Ada beberapa orang pasien yang sudah menunggu.Aku terlambat sampai di Pustu, seperempat jam.


Hari itu, pasien lumayan ramai. Aku dan Ela belum sempat mengobrol, sampai waktu Dhuhur tiba. Kami masuk ke perumahan pustu, untuk Shalat Dhuhur. Ela langsung menuju kamar mandi dan aku menuju kamar tidur kami.


Ketika masuk ke dalam kamar, kulihat kamar tertata sangat rapih. Bau harum bunga tercium seketika. Merinding aku tiba-tiba. Aku bertanya pada Ela, apakah dia yang merapihkan kamar, dia bilang tidak.


Kami kemudian shalat berjama'ah. Setelah shalat, aku membereskan baju-baju yang akan kubawa pulangnanti. Ela kembalilagi ke Pustu. Aku berencanaakan ke rumah Ratno bersama Ela, setelahjam kerja usai, untuk memberitahu kalau HPnya sedang dipinjam polisi.


Tapi ternyata, turun hujan sampai sekitar pukul 17.00 WIB baru berhenti. Akhirnya aku pulang, tak jadi ke rumah Ratno.


***

Tiga hari setelah aku melapor ke Polsek, ada Surat Panggilan, agar datang ke Polsek dua hari kemudian, untuk dimintai keterangan, sehubungan dengan rekamanvideo yang ada di HP Ratno. Aku datang ke Polsek dua hari kemudian. Terkejut saat sampai di Polsek, kulihatRatno dan laki-laki yang ada dalamvideo, juga sudah berada di Polsek.


Ternyata dia adalah Mbah Leman. Ada juga Pak Kades dan sepasang suami istri. Yang belakangan aku tahu, merekaadalah kedua orangtuaTeh Suli.


Seminggu dari kedatanganku di Polsek, aku mendengar kabar kalau Mbah Leman dan Ratno ditangkap polisi. Tiga bulan kemudian, kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri. Aku meminta ijin pada Bu Komalasari, untuk menghadiri sidang setiap hari Rabu.


Dalam sidangterungkap, Teh Suli memang seringdatang kepada Mbah Leman, untuk meminta bantuan menjaga bayi yang ada dalam kandungannya. Mbah Leman memberikan jimat, berupa botol kecil berisi rambut, dan meminta sejumlah uang sebagai imbalan.


Teh Suli diminta datang oleh Mbah Leman setiap minggunya, dengan alasan botol kecil berisi rambut itu harus diganti, tentu saja dengan imbalan uang. Intinya, Mbah Leman memeras Teh Suli dengan dalih memberikan jimat keselamatan bagi bayi yang sedang dikandungnya.


Ternyata, saat kandungan Teh Suli menginjakenam bulan, Mbah Leman berubahpikiran. Yang tadinya hanya memeras uang terhadap Teh Suli, sekarang dia ingin bayi yang ada dalam kandungan Teh Suli, untuk menambah ilmu hitamnya.

Pada hari peristiwa naas terjadi, Mbah Leman datang ke Pustu dan mengutarakan keinginannya. Tentu saja Teh Suli marah dan terjadilah pertengkaran hebat. Ratno yang semula akan berobat, tak sengaja mendengar ada keributan di dalam Pustu dan merekamnya.


Dia merekam saat Teh Suli dicekik Mbah Leman dan jatuh ke lantai. Karena takut ketahuan, dia cepat-cepat pulang.Tapi, ternyata Mbah Leman melihatdan menyuruh Ratno untuk membantunya, menaruh mayat Teh Suli di bawah pohon nangka, agar seolah-olah Teh Suli meninggalkarena jatuh dari motor.


Ratno tidak menceritakan kejadian itu pada siapa pun, karena diancam oleh Mbah Leman. Tapi, dia terus dihantui rasa bersalah. Teh Suli sering datang menemuinya. Ketika berobat ke Pustu,yang dilihat Ratno bukan aku, Nenden. Tapi Teh Suli. Itulah kenapa dia memanggilku dengan sebutan Teh Suli.


Mbah Leman tidak tahu, jika Ratno telah merekam kejadian pembunuban itu. Ratno tidak pernah lagi memakaiHPnya, tapi juga tidak berceritakarena merasa takut.Di akhir persidangan, hakim menjatuhkan hukuman selama 20 tahun penjara kepada Mbah Leman, sesuai dengan Pasal 340 KUHP, dan lima tahun penjara kepada Ratno, karena telah membantuMbah Leman merekayasa kematian Teh Suli.


***


Aku dan Ela dipanggil Bu Komalasari, setelah.kasus Teh Suli selesai. Beliau menanyakan, apakah aku masih tetap akan tinggal di Pustu atau pindah tempat tugas. Aku memilih untuk tetap tinggal di Pustu. Entah kenapa, aku sudah terlanjur mencintai

desa itu.


Dan sebagai hadiahnya, Bu Komalasari mengangkat Ela menjadi pegawaihonorer di Pustu, menemaniaku, yang gajinyadiambilkan dari Operasional Puskesmas Induk.


***


-S E L E S A I -


Laporan: Budi Kusuma

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Puskesmas Lama, Karya Ryanti

Iklan