Penulis: Acik Wesa (Wakil Ketua Bidang Kajian Ilmiah DPC GMNI Makassar)
Sulsel,Makassar,Lidinews.com-Rabu, 29 April 2020. Diskursus tentang anggaran bantuan sosial dari pemerintah, tidak pernah selamat dari pantauan publik prihal sunat menyunat ataupun korupsi massal. Berbagai kasus di Indonesia yang menyita sorotan publik karena prilaku elit elit nakal yang selalu mengedepankan kerakusan personal daripada kepentingan umum masyarakat.
Semisal, kita sepakati untuk menuangkan buah pikiran terkait bantuan sosial penanganan wabah Corona Virus disease 2019 yang nota bene pemerintah pusat hingga pemerintah desa/kelurahan sepakat menggelontorkan anggaran dengan jumlah yang sangat besar. Secara nasional, presiden Republik Indonesia, Jokowi mengucurkan anggaran sebesar 405,1 triliun untuk tangani Covid19 dengan rincian terntentu. Pun pemerintah provinsi kucurkan anggaran tangani Covid19 sesuai dengan kesepakatan pemerintahan terkait.
Berdasarkan besaran anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah dengan spesifikasi bantuan sosial tertentu, ada problem esensial yang semestinya dijadikan sorotan publik secara bersama. Hal itu ialah prihal prilaku para pemangku jabatan tertentu yang doyan dengan sikap koruptif(sunat, tilep, dsbnya) anggaran bantuan dari pemerintah.
Bantuan sosial dengan jumlah yang cukup fantastis semestinya ditujukan kepada rakyat dengan tujuan untuk mencapai keadilan sosial dalam problem corona. Namun, bansos tersebut justru tidak tersampaikan karena sebagian atau keseluruhan bansos tersebut ditilep, disunat oleh pemangku jabatan yang tumpul moralitas dan prikemanusiaan.
Ada satu contoh kasus dimana Bantuan sosial Covid19 disunat oleh pemangku jabatan struktural. Wartakotalive.com.depok edisi 19 April 2020 menyajikan sebuah berita dimana Ketua RT di Depok melakukan pemotongan(sunat) dana bantuan sosial jaring pengaman sosial Pembatasan Sosial Skala Besar(PSBB). Dalam rinciannya, warga terdampak Covid-19 mendapatkan dana Rp.250.000 dari pemerintah Kota Depok. Namun, di lapangan warga Kota Depok hanya mendapatkan 225.000. ketua RT menyunat dana tersebut sebesar 25.000. apa pun alasannya, Anggaran tersebut seyogyanya tepat sasaran dan sesuai arahan pemerintah.
Dari salah satu contoh kasus di atas, penulis ingin utarakan suatu pandangan bahwasannya, potensi korupsi terhadap Anggaran Bantuan sosial dari pemerintah memang cukup tinggi. Para pemangku jabatan seringkali berkamuflase kepada masyarakat terkait bansos jika instansi terkait tidak mengawasi secara masif. Berbagai alibi dan strategi dilakukan untuk menyunat bantuan sosial, kebohongan dan non transparansif pun dilakukan untuk mengelabui rakyat sebagai sasaran penerima Bantuan sosial.
Selain dari pada itu, jenis ‘sunat’ anggaran bantuan sosial yang dilakukan oleh pemangku jabatan pun dilakukan dengan cara penggelapan data, data yang tidak sesuai dengan fakta lapangan, atau sasaran penerima bansos tidak sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.lebih parahnya lagi jika prilaki sunat menyunat dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Lalu, apa yang didapat rakyat jika kasusnya demikian?
“Hanya Jumlah angka Bansos Sering didapat Rakyat. Susu Kaleng, dan Bimoli adalah alibi elit koruptif. Elit nakal, suka dalam duka ”
Rakyat dapat apa jika A sampai Z aktif menyunat Bansos?
Pertanyaan di atas selalu menggelitik dalam pikiran saya sebagai manusia waras. Ada kejanggalan luar biasa terjadi jika semua pemangku jabatan sepakat mengucurkan anggaran yang cukup besar dan mengilhami secara massal untuk menyunat tanpa kompromi.
Rakyat sebagai taruhan dalam perang gagasan dalam memutuskan besaran finansial bansos sering dizolimi dan bahkan dijadikan tameng ketamakan para badut badut nakal. Alhasil, realitas menunjukkan sebuah pementasan dan pesta korupsi masal menyambut resky di tengah duka dan derita bersama.
Satu kesimpulan sementara yang dibangun penulis berdasarkan kontruksi berpikir dan persepsi penulis bahwasannya, rakyat sebagai pemegang tampuk kedaulatan akan menikmati ‘’Bimoli” sisa selebrasi pesta Para badut. Keadilan sosial, kesejahteraan dan perlindungan hanya sebuah ilusi dan halusinasi badut agar publik mengakui eksistensi elit bertopeng badut badut nakal.
Ketika A dan Z sepakat menyunat Anggaran Bantuan Sosial, maka “mutlak” wabah ini akan dijadikan berkah dan resky berlimpah bagi mereka. Rakyat dijadikan “latar belakang” rasionalisasi anggaran dan jawaban dari persoalan itu akan kembali pada kantong pemangku kepentingan. Bejat kan?
Laporan : Fansisius Gunawan