Antipati Khilafah Dari Kisah secangkir Kopi Antek
Oleh : Budi Kusuma
Jurusan : Teknik Pertambangan
Unismuh Kendari
sebelum itu saya hanya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini semata mata hanyalah opini deskruptif , jika kalian tidak menyukainya saya sarankan untuk tidak di teruskan dalam membacanya, karena itu akan membuat anda merasa muak,terlebih lagi bagi mereka islam fanatik yang tak suka secangkir kopi.
mengguncingkan konteks secangkir kopi rupanya tak menjadi preseden yang begitu tabu atau malah telah menjadi klise di kalangan mahasiswa, siapa yang sampai hari ini tak mengenal secangkir coffe, dengan kepercayaan tiap tiap penganutnya sebagai pemecah kebuntuan nalar, lihatlah mahasiswa dengan secangkir kopi di mejanya itu , ketika kopi itu berhenti untuk di sereput maka percayalah bahwa diskusi di hari itu adalah hal yang cukup elusif untuk di pahami.
Seperti halnya meminum kopi , meski banyak yang memahaminya dengan berbagai perspektif ,nyatanya kita akan tetap di buat sadar diri untuk mengerti bahwa kopi dan kretek hanyalah sekedar minuman dan asap , namun menseruput kopi dan menganggabnya hanya lah minuman adalah manifestasi dari ketidak sopanan, begitulah pula dalam melihat khilafah yang tak sesederhana melihat secangkir kopi dan sebatang kretek.
Bagi orang kebanyakn
Kau mungkin hanya sekedar minuman
Tapi bagi kami kau adalah pertemuan
Penggugah nalar kritis
Penghangat debat diskusi
Hingga memantik kata inspirasi
Itulah pertemuan kita
Di tengah manis pahit kopi
Bersambut argumen kontradiksi
(rin.minggu,26 april,2020)
sebab bagi akademisi, cendikiawan barangkali kopi adalah anak kandung dari narasi, anak kandung dari argumen bahkan anak kandung dari penolakan doktrin, seperti saya sampaikan di muka jika kopi adalah pemecah kebuntuan nalar dalam menganggab zaman khilafah sebagai zaman kebangkitan islam.
Namun sebelum kita terlampau banyak dalam menbincang khilafa, Jika boleh jujur, mula mula saya ingin menyampaikan ke pada pembaca tentang sebuah peringatan untuk tidak melanjutkan dalam membaca tulisan ini, karna sungguh tulisan ini memuat perbincangan yang mungkin sekali ingin dihandari oleh kebanyakan orang, sebab yang Kebanyakan itu lebih cenderung mendengarkan apa apa saja yang mereka sukai, Secara kejiwaan, manusia memang lebih condong untuk meminati konteks yang berhasil membuat diri merasa nyaman. Karena itu sulit bagi banyak orang untuk menerima versi kebenaran lain.
Yang saya maksud Yaitu Tentang periode khilafah yang di anggab sebagai periode zaman ke emasan islam yakni zaman khilafah arasidin,umayah dan abasiyah sebagi zaman yang sangat di rindukan , namun sesungguhnya justru tidak banyak hal yang dapat di banggakan dari masa itu, sebab ada banyak jejak romantisme yang cukup memalukan , sebut saja kisah saat saat wafatnya khalifah ustman di zaman khilafah arsyidin sebagai kematian yang paling sial di antara sahabat nabi lainya, sebab bagaimanapun benar bahwa ia di bunuh di tangan rakyatnya , sendiri karna telah di anggab keluar dari konsep kepemimpinan bernafaskan keadilan. “Ssst kuteguk lagi kopi ini”. Lalu apa yang menjadi alasan kita untuk mendukung pengejawantahan khilafah jika pada akhirnya kita di buat paham bahwa membunuh adalah perbuatan menyimpang, kau akan begitu ringkih untuk mengerti.
Menolak khilafah bukan berarti menolak islam sebagai agama, menolak khilafah bukan berarti melawan hukum sang pemilik kuasa, namun tuduhan yang paling ringan dari penolakan adalah di anggab sebagai orang yang skeptis.
Dari sinilah, syariat islam sebagai mana yang mereka pahami merupakan penghubung antara konsep islam sebagai agama dan konsep islam sebaga negara, keduanya bukanlah hubungan antara konsep yang berbeda melainkan seperti dua wajah dari satu mata uang yang sama, sesungguhnya penerapan syariat adalah instrumen untuk mencapai tujuan tertentu berdirinya negara islam.
“Wahai Negara Islam, Kembalilah!”; “Islam Adalah Solusi”, kita semua pasti akan di buat bingung apakah gema itu merupakan bagian dari uangkapan ungkapan sentimentil atau bagian dari agenda politik, sebab mereka menganggab dari titik berangkat awal bahwa solusi dari kegilaan demokrasi terdapat dalam penerapan yang segera atas syariat.
Kepada para pembaca bisa saja berkeyakinan bahwa ungkapan ungkapan sentimentil itu merupakan sepenggal dari rasa optimisme akan terwujudnya khilafah , akan tetapi saya tidak merasa se optimis itu,sebab dengan ungkapan sentimentil yang di bungkus dengan retorika yang menghanyutkan , justru mereka tampak sengaja menyuarakan demikian untuk membuat hati terlena dan menghindari dari polemik yang urgensi dan sangat krusial dari romantisme khilafah.
Yang saya maksud disini adalah tentang anggapan mengenai institusi khilafah sebagai gerakan politik umat islam serta dengan berbagai fakta fakta yang di buat hilang ingat oleh mereka dalam perspekti romantisme khilafah yang memang tak sedikit menampilkan keberengsekan, dan kebiadapan baik di romantisme zaman imprium abbasiyah maupun umayah, contoh contoh tentang penindasan terhadap ulama untuk membenarkan kekuasaan yang korup, ulama di taklukan khalifah, Khilafah dan romantisme nya tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter berselubung agama.
Sampai disini dengan segera saya akan mencoba menenangkan hati para pembaca atau memberi sedikit pencerahan walaupun jauh dari kata cermat, paling tidak jika ada yang menggemakan penegakan khilafah maka katakan pada mereka bahwa syariat islam itu tak akan pernah terwujud kecuali di dalam masyarakat yang benar benar islami.
sekali lagi menolak pemerintahan syariat bukan berarti membenci islam sebagai agama, namun hanya saja kita tak menginginkan islam sebagai agama di perlakukan bagaiakan agama yang memiliki citra yang liyan.
Agama perlu dibebaskan dari Belenggu negara agar agama itu tetap suci, dan negara harus di bebaskan dari Belenggu agama agar negara itu bisa bangkit.